(Suatu Otokritik)[1]
Oleh Aprinus Salam
Belakangan ini, terdapat
tiga macam tuduhan berkaitan dengan krisis kritik sastra. (1) Teduhan bahwa kritik
dan/atau kajian sastra[2] tertinggal
dibanding perkembangan sastra Indonesia. (2) Tuduhan bahwa kritik atau kajian
satra tidak diperhitungkan baik oleh masyarakat, dan terutama oleh sastrawan.
(3) Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa saat ini tidak ada pengamat atau
peneliti sastra seberwibawa A. Teeuw atau H.B. Jassin.
Tuduhan tersebut
ada benarnya. Tuduhan tersebut berdasarkan beberapa kenyataan berikut.
(1)
Kritik dan/atau kajian sastra
tidak secara cepat mampu memetakan perkembangan sastra mutakhir. Kritik sastra
tidak secara cepat dan antisipatif menunjukkan mana karya sastra yang bernilai
dan penting dan mana yang tidak, dan bagaimana mendapatkan kriteria itu. Kalau toh ada pembicaraan tentang itu,
biasanya bersifat sporadis, sekilas-sekilas, tidak mendalam (tidak ekploratif),
tidak imajinatif, tidak inspiratif.
(2)
Kritik atau kajian sastra belum
mampu menunjukkan kemanfaatan dan relevansi sosial-nya secara strategis, atau
sebagai model kehidupan bagi masyarakat
Indonesia. Hal itu dikarenakan kajian dan kritik sastra masih bersifat
eksklusif sehingga masyarakat merasa tidak (perlu) terlibat dengan urusan dan
pembicaraan tentang sastra.
(3)
Hal yang paling mendasar adalah
bahwa banyak kajian atau kritik sastra bersifat stereotip, tidak memberikan isu
atau wacana baru. Substansi persoalan dari waktu ke waktu tidak banyak berubah,
tidak memberikan “pengetahuan baru”, banyak kajian sastra tidak penting untuk
dibaca. Kritik dan kajian sastra belum mampu “mengarahkan” opini atau isu yang membuat
masyarakat merasa perlu terlibat. Kajian sastra Indonesia sangat belum mampu
mejadi salah satu sarana yang “mencerahkan.”
(4)
Berkaitan dengan hal pertama,
kajian dan kritik sastra tidak cukup antisipatif terhadap kasus-kasus yang
berkembang di tengah masyarakat. Sebagai contoh fenomana Ayat-Ayat Cinta (AAC). Fenomena heboh AAC yang mengusung bukan ahli
atau pengamat sastra, tetapi justru wartawan atau media massa. Hal ini juga
memperlihatkan bahwa otoritas wartawan media massa jauh lebih kuat dibandingkan
otoritas pengamat atau ahli sastra. Hal menarik bahwa pernyataan artis tentang
sastra jauh lebih berharga daripada pernyataan seorang doktor sastra tentang
sastra.
(5)
Adanya inferioritas di kalangan
peneliti dan pengamat sastra bahwa sebagai peneliti, ilmuwan, atau pengamat
sastra, mereka tertinggal jauh dibanding wibawa pengamat atau peneliti politik
atau ekonomi, atau bahkan pengamat sepatu. Ada gejala lain bahwa para pengamat
atau peneliti sastra bisa dianggap berwibawa jika mereka juga sastrawan atau
penyair. Sejumlah pengamat sastra yang terkenal di Indonesia adalah sastrawan
atau penyair.
Beberapa kondisi
yang menyebabkan mengapa hal di atas terjadi.
- Dalam sejarah yang panjang, bahkan hingga hari ini, masyarakat Indonesia masih sangat disibukkan oleh masalah ekonomi dan politik kekuasaan. Sebagai akibatnya hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan persoalan ekonomi dan politik kekuasaan, boleh dianggap tidak laku.
- Negara, terutama pada pada Orde Baru, memiliki agenda ekonomi, politik, kebudayaan tersendiri yang secara langsung tidak kondusif bagi perkembangan kajian sastra. Seperti kita tahu, negara hampir tidak mengeluarkan dana yang cukup untuk riset-riset kebudayaan, terutama kesusastraan. Lembaga-lembaga negara yang paling miskin adalah lembaga bahasa dan kesusastraan.
- Karena hal pertama dan kedua itu, masyarakat Indonesia tidak sempat berkreasi secara kreatif dan imajinatif. Kemandulan dan kebuntuan kreatif dan imajinatif itu terlihat bagaimana cara-cara masyarakat Indonesia menyelesaikan persoalan hidupnya. Hal itu berimbas secara langsung terhadap mereka yang mencoba menggeluti dunia sastra. Pekerjaan yang berhubungan dengan sastra adalah pekerjaan tidak penting, tidak ada uangnya, bahkan hampir seperti sia-sia karena para peneliti sastra juga tidak tahu bahwa sebetulnya mereka bekerja untuk apa.
- Akhirnya, banyak peneliti, dosen, atau guru sastra hanya sekedar menjalankan “profesi” mereka secara ala kadarnya dan akhirnya terjebak dalam rutinitas yang “tidak perlu”. Sangat sedikit yang mampu ke luar dari rutinitas “tidak perlu” tersebut dan bertekat menjadi peneliti atau pengamat sastra yang serius.
- Karena sastra bukan hal yang penting di negara kita, maka, maaf, SDM yang “akhirnya” masuk ke jurusan sastra adalah mereka yang “mungkin” tidak bisa masuk ke pilihan lain yang lebih menjanjikan dan lebih dianggap penting. (Dalam hal ini tentu selalu ada pengecualian).
Hal-hal yang perlu
diperbaiki dan dikerjakan. Pertama, mencari solusi di tingkat jurusan/prodi.
- Di Jurusan Sastra, harus ada program-program riset yang berkesinambungan yang menjelaskan arah, kebaruan-kebaruan, serta interpretasi-interpretasi yang inklusif terhadap perkembangan sastra, baik novel, cerpen, puisi, atau naskah drama. Dalam riset yang berkesinambungan itu peneliti atau pengamat sastra harus berani, cermat, dan bertanggung jawab mengeksekusi mana karya sastra yang penting dan mana yang tidak, dan bagaimana hal itu menjadi penting atau tidak. (Dalam posisi ini peneliti atau kritikus sastra seolah bertindak menjadi “pengawal-pengawal kebudayaan”).
- Di Jurusan Sastra harus ada “pemetaan SDM” dan “pembagian tugas” agar berbagai perkembangan sastra dapat secara sinergis dikelola dan didistribusikan dengan baik oleh SDM yang tersedia. Sejumlah kasus di berbagai jurusan sastra memperlihatkan bahwa strategi “bagi-bagi tugas” ini sama sekali tidak diperhatikan. Sebagai akibatnya, banyak ahli sastra memiliki perhatian dan keahlian yang sama. Hal ini juga berkaitan dengan minimnya ahli atau kritikus sastra yang memperhatikan sastra anak, sastra remaja, dan sastra terjemahan. Di lain pihak, belakangan ini sastra chicklit atau teenlit sangat banyak berterbitan. Polarisasi antara sastra pop atau “picisan” dan sastra serius selayaknya memang harus diabaikan. Bagaimanpun sastra adalah data dan dokumen sosial yang perlu mendapat perhatian secara seimbang.
- Secara sinergis dan bersama-sama Jurusan Sastra harus mampu memberi situasi yang kondusif terhadap kehidupan yang ilmiah, bukan sekedar menjadi guru/dosen sastra, yang mengajarkan secara rutin hal yang sama dari semester satu ke semester lainnya. Jika ini yang terjadi, banyak dosen sastra terjebak menjadi dosen yang mengajar, bukan menjadi ilmuwan atau peneliti sastra. Artinya, membongkar tradisi dan ritus “menjadi dosen sastra” merupakan salah satu cara dan prasyarat untuk membangun kritk sastra yang berwibawa.
- Jurusan selayaknya secara reguler melakukan diskusi-diskusi dalam rangka membahas isu-isu sastra (dalam pengertian luas) yang berkembang di masyarakat.
Kedua, mencari
kemungkinan solusi di tingkat metode pembelajaran dan kurikulum.
- Pembelajaran berbasis riset selayaknya menjadi cara-cara yang kondusif dalam mengantisipasi perkembangan fenomena kesusastraan. Caranya, dalam mata-mata kuliah yang relevan, mahasiswa tidak hanya menjadi pendengar dan pencatat pasif, tetapi mahasiswa justru dilibatkan untuk menjadi asisten-asiten penelitian. Dosen dalam hal ini sekaligus bertindak sebagai koordinator peneliti. Pada awal keuliah, dosen sudah membawa proposal riset yang dikerjakan bersama-sama mahasiswa. Misalnya saja riset tentang perkembangan puisi, cerpen, atau novel. Riset-riset yang bersifat interdisipliner selayaknya lebih digalakkan,
- Kurikulum dan silabus perlu selalu diperbarui dan disesuaikan dengan perkembangan metode dan teori-teori mutakhir. Definisi-definisi, konsep-konsep, dan operasi-operasi interpretasi harus selalu dievaluasi dan ditinjau secara kritis relevansinya dihadapkan dengan persoalan-peroslaan yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Dalam situasi ini, perlu pemikiran baru yang “orisinal” untuk membangun tradisi kritik sastra lebih sesuai dengan persoalan yang dihadapi.
- Perlu ada kebijakan agar skripsi atau karya tulis ilmiah tidak terjebak dalam formalitas dan format teknis, tetapi lebih pada substansi dan interpertasi terhadap persoalan.
Namun begitu, perlu
juga diketahui beberapa kondisi dan situasi kesusastraan kita.
- Banyak karya sastra sekarang, karena dapat terbit dalam waktu cepat dan lebih massal, memang tidak mampu memberikan sesuatu baru, tidak inspiratif, stereotip, dan secara relatif tidak lebih sebagai pengisi waktu luang secara tidak berguna. Singkat kata, masyarakat membaca karya sastra atau tidak, tidak ada bedanya. Artinya, banyak karya sastra kita sekarang dalam situasi yang tidak cukup kondusif untuk dibaca (Bandingkan dengan sinetron Indonesia). Hal yang perlu dicari jawaban mengapa itu terjadi? Bagaimana peneliti atau kritikus sastra mencarikan “solusi” untuk persoalan tersebut?
- Memang tetap terdapat beberapa karya penting. Karya-karya penting tersebut selayaknya ditempatkan dalam satu posisi yang strategis dalam memahami persoalan politik, sosial, budaya, bahkan ekonomi dan teknologi. Hal itu dimungkinan dengan melihat isu-isu yang diusung oleh karya bersangkutan.
Kemungkinan mencari
(format) kritik sastra yang berwibawa.
- Hal yang menjadi persoalan bukan pada format kritik atau kajian sastra. Karena konsep format mengacu kepada sesuatu yang bersifat teknis. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana melakukan penelitian-penelitian yang serius dan terprogram. Bagaimanapun karya sasta merupakan data dan informan yang “terseleksi” dalam memahami persoalan di masyarakat, seperti masalah demokrasi, konflik, mitos-mitos, ritus-ritus sosial, kriminalitas, dan sebaginya.
- Metode dan teori-teori yang berkembang secepatnya diadopsi untuk kebutuhan-kebutuhan kritik dan interpretasi dalam cara-cara yang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan kajian dan sastra agar masyarakat mendapatkan alternatif pengetahuan yang sehari-hari juga berkembang.
- Kritik atau kajian sastra selayaknya didekatkan dengan persoalan yang dihadapi bangsa dan negara. Konsep ini sebetulnya sudah diperkenalkan oleh Lotman (1977) jauh hari sebelumnya, yakni dengan menempatkan sastra sebagai secondary modelling system, yakni dengan melihat kesusastraan sebagai model kehidupan kedua. Sebagai model kehidupan, karya sastra merupakan alternatif pembanding dihadapkan dengan realitas yang terjadi di masyarakat.
- Kritik atau kajian sastra selayaknya mampu memberi inspirasi, atau sumbangan ide dalam ikut memaknai persoalan bangsa dan negara. Dengan demikian, persoalan-persoalan mendesak yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara perlu menjadi agenda riset penelitian kesusastraan.
Program-program
penguatan posisi.
- Para ilmuwan, peneliti dan pengamat sastra selayaknya mampu memposisikan dirinya menjadi “pemikir-pemikir kebudayaan” sebagai alternatif dari pemikir-pemikir ekonomi atau pemikir-pemikir politik. Hal ini dapat dilakukan dengan aktif “beropini” di berbagai media yang secara luas dapat diakses oleh masyarakat. Saya menjadi ingat tulisan B. Herry-Priyono yang mengatakan bahwa sudah saatnya para ahli budaya dan satra (pemikir kebudayaan) tampil menggantikan ahli ekonomi dan politik yang kewalahan memikirkan persoalan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia.
- Perlu dipikirkan program secara konstan dan teratur yang diselenggarakan oleh Asosiasi Kesusastraan Indonesia dalam bentuk SASTRA AWARD, untuk (1) Buku Karya Sastra Terbaik (kumpulan cerpen, novel, kumpulan puisi, dan drama), (2) Penerbit Karya Sastra Terbaik, (3) Kritikus Sastra Terbaik, (4) Buku Penelitian Sastra Terbaik, (5) dan Skripsi Terbaik, dengan hadiah yang sangat memadai dan menjanjikan. Dalam kerja-kerja yang bersifat pencitraan ini, selalu ada proses mengkritisi dan mengevaluasi karya sastra.
- Hal 2-(1) di atas berhubungan langsung dengan kesatrawanan atau kepenyairan. Sastrawan dan penyair sudah banyak mendapat penghargaan dan perhatian di masyarakat. Yang jarang dihargai adalah peneliti atau kritikus sastra, buku kajian, penerbit yang serius memberikan perhatian pada sastra, dan mahasiswa yang serius mempelajari sastra. Mana tahu hal ini akan memacu para peneliti dan kritikus lebih intens meneliti dan mengkritisi sastra Indonesia.
- Kita tahu bahwa di beberapa tempat hal ini sudah dilakukan, tetapi tampaknya masih memberikan pretensi-pretensi politis dan ekonomi daripada poretensi akademis. Sastra juga memiliki HISKI dan PIBSI yang menyelenggarakan kegiatan seminar tahunan secara reguler. Akan tetapi, karena sering tidak terpogram secara baik, terutama tentang isu-isu yang dijadikan tema seminar, maka akhirnya banyak paper yang dikerjakan secara cepat dan terburu-buru. Dan akhirnya paper itu hanya berguna (atau digunakan) untuk mendapatkan kum. Para pengarang dan masyarakat tahu itu, maka jangan kecewa jika pekerjaan penelitian sastra pun diabaikan.
Hal
yang ingin dikatakan adalah bahwa program “mencari kembali (format) kritik
sastra yang berwibawa” bukan hanya persoalan internal kajian kesusastraan.
Begitu banyak hal yang perlu diperbaiki,
dikemas, dan ditata-ulang atau bahkan dilawan. Jika hal itu tidak pernah
terjadi, maka tidak perlu bermimpi kritik sastra menjadi sesuatu yang penting
atau berwibawa. Kita sudah merasakan itu bersama-sama, bertahun-tahun. * * *