Jumat, 20 Juli 2012

MENCARI (FORMAT) KRITIK SASTRA YANG BERWIBAWA


(Suatu Otokritik)[1]

Oleh Aprinus Salam

Belakangan ini, terdapat tiga macam tuduhan berkaitan dengan krisis kritik sastra. (1) Teduhan bahwa kritik dan/atau kajian sastra[2] tertinggal dibanding perkembangan sastra Indonesia. (2) Tuduhan bahwa kritik atau kajian satra tidak diperhitungkan baik oleh masyarakat, dan terutama oleh sastrawan. (3) Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa saat ini tidak ada pengamat atau peneliti sastra seberwibawa A. Teeuw atau H.B. Jassin.

Tuduhan tersebut ada benarnya. Tuduhan tersebut berdasarkan beberapa kenyataan berikut.

(1)   Kritik dan/atau kajian sastra tidak secara cepat mampu memetakan perkembangan sastra mutakhir. Kritik sastra tidak secara cepat dan antisipatif menunjukkan mana karya sastra yang bernilai dan penting dan mana yang tidak, dan bagaimana mendapatkan kriteria itu. Kalau toh ada pembicaraan tentang itu, biasanya bersifat sporadis, sekilas-sekilas, tidak mendalam (tidak ekploratif), tidak imajinatif, tidak inspiratif.

(2)   Kritik atau kajian sastra belum mampu menunjukkan kemanfaatan dan relevansi sosial-nya secara strategis, atau sebagai  model kehidupan bagi masyarakat Indonesia. Hal itu dikarenakan kajian dan kritik sastra masih bersifat eksklusif sehingga masyarakat merasa tidak (perlu) terlibat dengan urusan dan pembicaraan tentang sastra.

(3)   Hal yang paling mendasar adalah bahwa banyak kajian atau kritik sastra bersifat stereotip, tidak memberikan isu atau wacana baru. Substansi persoalan dari waktu ke waktu tidak banyak berubah, tidak memberikan “pengetahuan baru”, banyak kajian sastra tidak penting untuk dibaca. Kritik dan kajian sastra belum mampu “mengarahkan” opini atau isu yang membuat masyarakat merasa perlu terlibat. Kajian sastra Indonesia sangat belum mampu mejadi salah satu sarana yang “mencerahkan.”

(4)   Berkaitan dengan hal pertama, kajian dan kritik sastra tidak cukup antisipatif terhadap kasus-kasus yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai contoh fenomana Ayat-Ayat Cinta (AAC). Fenomena heboh AAC yang mengusung bukan ahli atau pengamat sastra, tetapi justru wartawan atau media massa. Hal ini juga memperlihatkan bahwa otoritas wartawan media massa jauh lebih kuat dibandingkan otoritas pengamat atau ahli sastra. Hal menarik bahwa pernyataan artis tentang sastra jauh lebih berharga daripada pernyataan seorang doktor sastra tentang sastra.

(5)   Adanya inferioritas di kalangan peneliti dan pengamat sastra bahwa sebagai peneliti, ilmuwan, atau pengamat sastra, mereka tertinggal jauh dibanding wibawa pengamat atau peneliti politik atau ekonomi, atau bahkan pengamat sepatu. Ada gejala lain bahwa para pengamat atau peneliti sastra bisa dianggap berwibawa jika mereka juga sastrawan atau penyair. Sejumlah pengamat sastra yang terkenal di Indonesia adalah sastrawan atau penyair.

Beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa hal di atas terjadi.
  1. Dalam sejarah yang panjang, bahkan hingga hari ini, masyarakat Indonesia masih sangat disibukkan oleh masalah ekonomi dan politik kekuasaan. Sebagai akibatnya hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan persoalan ekonomi dan politik kekuasaan, boleh dianggap tidak laku.  

  1. Negara, terutama pada pada Orde Baru, memiliki agenda ekonomi, politik, kebudayaan tersendiri yang secara langsung tidak kondusif bagi perkembangan kajian sastra. Seperti kita tahu, negara hampir tidak mengeluarkan dana yang cukup untuk riset-riset kebudayaan, terutama kesusastraan. Lembaga-lembaga negara yang paling miskin adalah lembaga bahasa dan kesusastraan.

  1. Karena hal pertama dan kedua itu, masyarakat Indonesia tidak sempat berkreasi secara kreatif dan imajinatif. Kemandulan dan kebuntuan kreatif dan imajinatif itu terlihat bagaimana cara-cara masyarakat Indonesia menyelesaikan persoalan hidupnya. Hal itu berimbas secara langsung terhadap mereka yang mencoba menggeluti dunia sastra. Pekerjaan yang berhubungan dengan sastra adalah pekerjaan tidak penting, tidak ada uangnya, bahkan hampir seperti sia-sia karena para peneliti sastra juga tidak tahu bahwa sebetulnya mereka bekerja untuk apa.

  1. Akhirnya, banyak peneliti, dosen, atau guru sastra hanya sekedar menjalankan “profesi” mereka secara ala kadarnya dan akhirnya terjebak dalam rutinitas yang “tidak perlu”. Sangat sedikit yang mampu ke luar dari rutinitas “tidak perlu” tersebut dan bertekat menjadi peneliti atau pengamat sastra yang serius.

  1. Karena sastra bukan hal yang penting di negara kita, maka, maaf, SDM yang “akhirnya” masuk ke jurusan sastra adalah mereka yang “mungkin” tidak bisa masuk ke pilihan lain yang lebih menjanjikan dan lebih dianggap penting. (Dalam hal ini tentu selalu ada pengecualian).


Hal-hal yang perlu diperbaiki dan dikerjakan. Pertama, mencari solusi di tingkat jurusan/prodi.
  1. Di Jurusan Sastra, harus ada program-program riset yang berkesinambungan yang menjelaskan arah, kebaruan-kebaruan, serta interpretasi-interpretasi yang inklusif terhadap perkembangan sastra, baik novel, cerpen, puisi, atau naskah drama. Dalam riset yang berkesinambungan itu peneliti atau pengamat sastra harus berani, cermat, dan bertanggung jawab mengeksekusi mana karya sastra yang penting dan mana yang tidak, dan bagaimana hal itu menjadi penting atau tidak. (Dalam posisi ini peneliti atau kritikus sastra seolah bertindak menjadi “pengawal-pengawal kebudayaan”).

  1. Di Jurusan Sastra harus ada “pemetaan SDM” dan “pembagian tugas” agar berbagai perkembangan sastra dapat secara sinergis dikelola dan didistribusikan dengan baik oleh SDM yang tersedia. Sejumlah kasus di berbagai jurusan sastra memperlihatkan bahwa strategi “bagi-bagi tugas” ini sama sekali tidak diperhatikan. Sebagai akibatnya, banyak ahli sastra memiliki perhatian dan keahlian yang sama. Hal ini juga berkaitan dengan minimnya ahli atau kritikus sastra yang memperhatikan sastra anak, sastra remaja, dan sastra terjemahan. Di lain pihak, belakangan ini sastra chicklit atau teenlit sangat banyak berterbitan. Polarisasi antara sastra pop atau “picisan” dan sastra serius selayaknya memang harus diabaikan. Bagaimanpun sastra adalah data dan dokumen sosial yang perlu mendapat perhatian secara seimbang.

  1. Secara sinergis dan bersama-sama Jurusan Sastra harus mampu memberi situasi yang kondusif terhadap kehidupan yang ilmiah, bukan sekedar menjadi guru/dosen sastra, yang mengajarkan secara rutin hal yang sama dari semester satu ke semester lainnya. Jika ini yang terjadi, banyak dosen sastra terjebak menjadi dosen yang mengajar, bukan menjadi ilmuwan atau peneliti sastra. Artinya, membongkar tradisi dan ritus “menjadi dosen sastra” merupakan salah satu cara dan prasyarat untuk membangun kritk sastra yang berwibawa.

  1. Jurusan selayaknya secara reguler melakukan diskusi-diskusi dalam rangka membahas isu-isu sastra (dalam pengertian luas) yang berkembang di masyarakat.

Kedua, mencari kemungkinan solusi di tingkat metode pembelajaran dan kurikulum.
  1. Pembelajaran berbasis riset selayaknya menjadi cara-cara yang kondusif dalam mengantisipasi perkembangan fenomena kesusastraan. Caranya, dalam mata-mata kuliah yang relevan, mahasiswa tidak hanya menjadi pendengar dan pencatat pasif, tetapi mahasiswa justru dilibatkan untuk menjadi asisten-asiten penelitian. Dosen dalam hal ini sekaligus bertindak sebagai koordinator peneliti. Pada awal keuliah, dosen sudah membawa proposal riset yang dikerjakan bersama-sama mahasiswa. Misalnya saja riset tentang perkembangan puisi, cerpen, atau novel. Riset-riset yang bersifat interdisipliner selayaknya lebih digalakkan,

  1. Kurikulum dan silabus perlu selalu diperbarui dan disesuaikan dengan perkembangan metode dan teori-teori mutakhir. Definisi-definisi, konsep-konsep, dan operasi-operasi interpretasi harus selalu dievaluasi dan ditinjau secara kritis relevansinya dihadapkan dengan persoalan-peroslaan yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Dalam situasi ini, perlu pemikiran baru yang “orisinal” untuk membangun tradisi kritik sastra lebih sesuai dengan persoalan yang dihadapi.

  1. Perlu ada kebijakan agar skripsi atau karya tulis ilmiah tidak terjebak dalam formalitas dan format teknis, tetapi lebih pada substansi dan interpertasi terhadap persoalan.

Namun begitu, perlu juga diketahui beberapa kondisi dan situasi kesusastraan kita.
  1. Banyak karya sastra sekarang, karena dapat terbit dalam waktu cepat dan lebih massal, memang tidak mampu memberikan sesuatu baru, tidak inspiratif, stereotip, dan secara relatif tidak lebih sebagai pengisi waktu luang secara tidak berguna. Singkat kata, masyarakat membaca karya sastra atau tidak, tidak ada bedanya. Artinya, banyak karya sastra kita sekarang dalam situasi yang tidak cukup kondusif untuk dibaca (Bandingkan dengan sinetron Indonesia). Hal yang perlu dicari jawaban mengapa itu terjadi? Bagaimana peneliti atau kritikus sastra mencarikan “solusi” untuk persoalan tersebut?

  1. Memang tetap terdapat beberapa karya penting. Karya-karya penting tersebut selayaknya ditempatkan dalam satu posisi yang  strategis dalam memahami persoalan politik, sosial, budaya, bahkan ekonomi dan teknologi. Hal itu dimungkinan dengan melihat isu-isu yang diusung oleh karya bersangkutan.

Kemungkinan mencari (format) kritik sastra yang berwibawa.
  1. Hal yang menjadi persoalan bukan pada format kritik atau kajian sastra. Karena konsep format mengacu kepada sesuatu yang bersifat teknis. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana melakukan penelitian-penelitian yang serius dan terprogram. Bagaimanapun karya sasta merupakan data dan informan yang “terseleksi” dalam memahami persoalan di masyarakat, seperti masalah demokrasi, konflik, mitos-mitos, ritus-ritus sosial, kriminalitas, dan sebaginya.

  1. Metode dan teori-teori yang berkembang secepatnya diadopsi untuk kebutuhan-kebutuhan kritik dan interpretasi dalam cara-cara yang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan kajian dan sastra agar masyarakat mendapatkan alternatif pengetahuan yang sehari-hari juga  berkembang.

  1. Kritik atau kajian sastra selayaknya didekatkan dengan persoalan yang dihadapi bangsa dan negara. Konsep ini sebetulnya sudah diperkenalkan oleh Lotman (1977) jauh hari sebelumnya, yakni dengan menempatkan sastra sebagai secondary modelling system, yakni dengan melihat kesusastraan sebagai model kehidupan kedua. Sebagai model kehidupan, karya sastra merupakan alternatif pembanding dihadapkan dengan realitas yang terjadi di masyarakat.

  1. Kritik atau kajian sastra selayaknya mampu memberi inspirasi, atau sumbangan ide dalam ikut memaknai persoalan bangsa dan negara. Dengan demikian, persoalan-persoalan mendesak yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara perlu  menjadi agenda riset penelitian kesusastraan. 

Program-program penguatan posisi.
  1. Para ilmuwan, peneliti dan pengamat sastra selayaknya mampu memposisikan dirinya menjadi “pemikir-pemikir kebudayaan” sebagai alternatif dari pemikir-pemikir ekonomi atau pemikir-pemikir politik. Hal ini dapat dilakukan dengan aktif “beropini” di berbagai media yang secara luas dapat diakses oleh masyarakat. Saya menjadi ingat tulisan B. Herry-Priyono yang mengatakan bahwa sudah saatnya para ahli budaya dan satra (pemikir kebudayaan) tampil menggantikan ahli ekonomi dan politik yang kewalahan memikirkan persoalan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia. 

  1. Perlu dipikirkan program secara konstan dan teratur yang diselenggarakan oleh Asosiasi Kesusastraan Indonesia dalam bentuk SASTRA AWARD, untuk (1) Buku Karya Sastra Terbaik (kumpulan cerpen, novel, kumpulan puisi, dan drama), (2) Penerbit Karya Sastra Terbaik, (3) Kritikus Sastra Terbaik, (4) Buku Penelitian Sastra Terbaik, (5) dan Skripsi Terbaik, dengan hadiah yang sangat memadai dan menjanjikan. Dalam kerja-kerja yang bersifat pencitraan ini, selalu ada proses mengkritisi dan mengevaluasi karya sastra.

  1. Hal 2-(1) di atas berhubungan langsung dengan kesatrawanan atau kepenyairan. Sastrawan dan penyair sudah banyak mendapat penghargaan dan perhatian di masyarakat. Yang jarang dihargai adalah peneliti atau kritikus sastra, buku kajian, penerbit yang serius memberikan perhatian pada sastra, dan mahasiswa yang serius mempelajari sastra. Mana tahu hal ini akan memacu para peneliti dan kritikus lebih intens meneliti dan mengkritisi sastra Indonesia.

  1. Kita tahu bahwa di beberapa tempat hal ini sudah dilakukan, tetapi tampaknya masih memberikan pretensi-pretensi politis dan ekonomi daripada poretensi akademis. Sastra juga memiliki HISKI dan PIBSI yang menyelenggarakan kegiatan seminar tahunan secara reguler. Akan tetapi, karena sering tidak terpogram secara baik, terutama tentang isu-isu yang dijadikan tema seminar, maka akhirnya banyak paper yang dikerjakan secara cepat dan terburu-buru. Dan akhirnya paper itu hanya berguna (atau digunakan) untuk mendapatkan kum. Para pengarang dan masyarakat tahu itu, maka jangan kecewa jika pekerjaan penelitian sastra pun diabaikan.

Hal yang ingin dikatakan adalah bahwa program “mencari kembali (format) kritik sastra yang berwibawa” bukan hanya persoalan internal kajian kesusastraan. Begitu banyak  hal yang perlu diperbaiki, dikemas, dan ditata-ulang atau bahkan dilawan. Jika hal itu tidak pernah terjadi, maka tidak perlu bermimpi kritik sastra menjadi sesuatu yang penting atau berwibawa. Kita sudah merasakan itu bersama-sama, bertahun-tahun. * * * 




[1] Sebagai pengantar diskusi pada Seminar Memperdebatkan Kritik Sastra, di FIB Universitas Airlangga, Surabaya, pada 12 November 2008.
[2] Untuk sementara, saya “menyamakan” istilah kritik dan kajian, atau istilah kritik dimaksudkan sebagai kajian yang bersifat kritis.

Sabtu, 21 April 2012

MILITER, NEGARA, DAN SASTRA INDONESIA



Ramayda Akmal[1]
Aprinus Salam[2]

Abstrak
Tulisan  ini mencoba menjelaskan relasi kewacanaan antara militer, negara, dan karya sastra, khususnya novel di Indonesia. Secara historis kedudukan militer di negara Indonesia selama beberapa dekade semenjak kemerdekaan sangatlah kuat. Militer Indonesia tidak hanya berada di ranah pertahanan, tetapi juga memasuki ranah sipil seperti dunia politik, ekonomi, dan lain-lain. Militer dipersamakan dengan negara itu sendiri. Berdasarkan kenyataan ini, melawan atau bertentangan dengan militer berarti melawan negara. Oleh karena itu, pembicaraan—lebih khusus lagi citra—tentang militer menjadi sangat penting, diperhatikan, dan dikendalikan  demi menjaga stabilitas negara.
Dalam hal ini, sastrawan dan karya sastra merupakan salah satu aspek yang perlu dikendalikan. Pengendalian ini bisa terjadi secara represif ataupun hegemonik, dan militer memegang peranan utama untuk menjalankan tugas ini. Untuk mengetahui sejauh mana negara mengambil peran dalam mengendalikan novel-novel khususnya berkaitan dengan wacana militer di dalamnya, dilakukan penelusuran terhadap novel-novel Indonesia modern, mulai dari novel yang terbit setelah 1920 hingga novel yang terbit pasca Orde Baru. Beberapa hal  yang diuraikan dalam penelitian ini adalah narasi dan deskripsi singkat wacana militer dalam novel-novel tersebut, dan konteks yang melahirkan wacana-wacana militer di atas. Dengan menggunakan metode semiotis dan analisis kewacanaan akhirnya dapat ditemukan bahwa wacana militer dalam novel-novel dari tahun 1920an hingga Orde Baru sangat dikendalikan oleh negara.
Kata Kunci: Militer-Novel-Negara-Indonesia


PENDAHULUAN
Novel  merupakan cermin berbagai fenomena sosial. Namun, karya sastra tidak melukiskan realitas zaman dalam unsur-unsur di atas  secara per se. Realitas dalam karya sastra adalah gabungan dari realitas dalam konteks sosial budaya masyarakat dan realitas yang dibayangkan berdasar pada ideologi penulisnya.  Oleh karena itu, pada hakikatnya karya sastra selalu mengandung berbagai gagasan yang ditanamkan penulisnya, yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu—atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu (Damono, 1979: 2).
Berdasarkan kemungkinan ini, negara sebagai pihak yang ingin selalu memenangkan kuasa, menganggap bahwa karya sastra perlu diatur, ditertibkan, dan diselaraskan untuk mendukung kuasa negara tersebut. Negara menentukan wacana-wacana yang ada dalam karya sastra untuk mendukung kekuasaannya. Michel Foucault mendefinisikan wacana sebagai sesuatu yang hadir untuk memproduksi yang lain (gagasan, konsep, atau efek). Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu objek (Eriyanto, 2001: 73-74). Ciri utamanya ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat.
Tulisan ini melihat wacana militer dalam karya sastra yang telah atau dalam hegemoni negara. Hal ini menarik karena secara historis militer memegang peranan penting dalam proses pembentukan negara Indonesia. Membicarakan Indonesia, dari sejak masa kerajaan, penjajahan hingga masa kemerdekaan, tidak akan dapat dilepaskan dari aspek kemiliterannya. Hal itu terutama jika dilihat sebagai suatu wilayah yang dikuasai oleh pihak tertentu dan yang harus dipertahankan demi kekuasaan tersebut. Dalam melaksanakan fungsi pertahanan itu, militer merupakan aspek utama dan bahkan terpenting di antara aspek yang lain.
Oleh karena peranannya dalam pertahanan di atas, militer dapat dikatakan sebagai alat atau aparatus negara. Militer menjaga kedaulatan negara dari berbagai ancaman baik dari luar maupun ancaman dari dalam. Dalam praktiknya di Indonesia, militer tidak hanya mengurusi masalah pertahanan, tetapi juga menjadi aparat penjaga stabilitas politik negara. Bidang jangkauannya yang semakin luas ini mendudukkan militer pada posisi yang sangat penting dalam sistem kenegaraan. Militer hampir mendominasi segala aspek kehidupan pemerintahan negara Indonesia dari masa ke masa. Oleh karena itu, tak salah jika kadangkala militer dipersamakan dengan negara itu sendiri.
Jadi, membicarakan militer bukan lagi hal yang dapat dilakukan secara bebas dan seenaknya. Negara akan sangat peduli dan memperhatikan bagaimana citra militer di mata masyarakat. Begitu pula di dalam novel-novel. Berbagai tindak pembredelan, pelarangan, dan bahkan pembakaran adalah sekelumit tindak represif negara terhadap novel-novel yang dianggap tindak sejalan dengannya. Perkembangan wacana militer dalam novel-novel melihat kenyataan pengendalian negara tersebut menjadi pembahasan utama dalam artikel ini. Secara lebih rinci terdapat dua masalah yang hendak diuraikan sebagai tindak lanjutnya. Pertama, bagaimana narasi dan deskripsi singkat wacana militer dalam novel-novel modern Indonesia. Kedua,  bagaimana konteks yang melahirkan wacana-wacana militer di atas.

WACANA MILITER DALAM SASTRA INDONESIA
Novel Indonesia modern yang pertama kali menampakkan aspek militer adalah Sitti Nurbaya—SN (1922; Balai Pustaka) karya Marah Rusli. Selanjutnya adalah Sengsara Membawa Nikmat--SMN (1929; Balai Pustaka) karya Tulis Sutan Sati, dan Hulubalang Raja--HR (1934; Balai Pustaka) karya Nur Sutan Iskandar. Ketiga novel ini terbit pada masa akhir pendudukan kolonial Belanda. Corak militer yang ditampilkan ketiga novel tersebut hampir sama, yaitu menghadirkan seorang tokoh pribumi yang menjadi tentara Belanda.
Tokoh Syamsul Bahri dalam Sitti Nurbaya adalah serdadu Belanda dengan pangkat letnan. Ia memimpin pasukan Belanda dalam meredam pemberontakan pribumi di Padang. Sebagai seorang tentara, Samsulbahri dikenal baik budinya, peramah pengasih dan penyayang, penolong tanpa melihat rupa dan bangsa. Dalam ketentaraan ia adalah Letnan Mas yang gagah berani dan telah menolong pemerintahan (Belanda) dalam beberapa kesulitan peperangan (SN, 331) Yang menarik lagi adalah bahwa tokoh antagonis Datuk Maringgih, yang sangat jahat ditempatkan sebagai pemimpin pemberontak terhadap Belanda (yang berarti pejuang Indonesia). Maka dapat dikatakan bahwa pejuang Indonesia adalah datuk maringgih-datuk maringgih yang lain.
Tokoh Midun dalam Sengsara Membawa Nikmat digambarkan sebagai anak lelaki yang baik, alim, dan disukai oleh semua orang (SMN, 10). Parasnya tampan, tubuhnya kuat dan sehat (SMN, 11). Oleh karena itu,  ia diangkat menjadi polisi di Tanjung Priok. Bahkan, oleh komisaris Belanda ia diangkat menjadi asisten demang. Tokoh terakhir adalah Sultan Malakewi dalam Hulubalang Raja. Sultan Malekewi muncul sebagai penglima perang yang tangkas, gagah berani, dan rendah hati yang  berdampingan dengan Belanda (HR, 119, 137, 140). Ia bekerjasama dengan Belanda untuk melumpuhkan pemberontakan rakyat Sumatera.
Dari penelusuran terhadap tiga novel ini, terdapat dua kesimpulan menarik mengenai keberadaan militer. Pertama, tentara yang gagah berani adalah tentara Belanda (pemerintah yang berkuasa pada waktu itu). Orang-orang pribumi yang baik budinya dan gagah perkasa menjadi bagian dari tentara itu. Mereka berada di pihak Belanda yang akan selalu melindungi Belanda. Setiap orang ingin menjadi tentara Belanda karena mereka dianggap gagah, cerdik dan baik. Kedua, yang dikatakan musuh dan pemberontak adalah orang-orang pribumi yang tidak mau tunduk dan bekerjasama dengan Belanda (yang berarti adalah  pejuang kemerdekaan Indonesia). Pemberontak ini diceritakan sebagai kaum yang jahat, bebal (tidak mau bekerja sama), dan bodoh.
Berdasarkan konteks awal novel Indonesia modern (zaman kolonial Belanda dan pendudukan Jepang) di atas, maka pengertian wacana militer dalam novel Indonesia modern berarti segala wacana menyangkut orang-orang atau pasukan dengan persenjataan tertentu untuk melindungi, merebut, menaklukan, bahkan menghancurkan area atau kedaulatan tertentu yang diceritakan dalam novel-novel Indonesia setelah tahun 1920.
Jadi, pengertian militer di sini memiliki cakupan yang luas. Militer bukan hanya berarti sekelompok orang yang diorganisasi suatu negara dengan berbagai aturan dan kedisiplinan untuk melakukan pertempuran dan pertahanan (Finer, 1962; Muhaimin, 2002).  Pembicaraan mengenai militer juga tidak semata berkaitan dengan fungsi defensi ataupun ekspansinya, tetapi mencakup kehidupan personal orang-orang di dalamnya, terutama menyangkut semangat, ideologi, kondisi psikologis, dan persepsi-persepsi mereka terhadap dunia.
Novel-novel dengan aspek militer di atas adalah novel yang berhasil terbit dan lulus sensor kolonial. Alur cerita, tokoh-tokoh, dan aspek militer yang dihadirkan sesuai dengan kepentingan Belanda. Terhadap karya sastra, pemerintah kolonial melakukan kontrol dengan menciptakan berbagai peraturan atau undang-undang. Salah satunya adalah persbreidelordonnantie 1930 (Jaringan Kerja Budaya/JKB, 1999: 16). Berdasarkan peraturan dan undang-undang ini pemerintah kolonial bebas melakukan tindakan represif berupa pelarangan ataupun pembredelan terhadap novel-novel yang dianggap membahayakan ataupun melawan negara (kolonial).
Kontrol ini dipakai untuk melindungi kepentingan kolonial Belanda yang tidak menginginkan perubahan yang dapat mengancam kedudukan dan dominasi politiknya. Balai Pustaka didirikan untuk mendukung kontrol ini dengan memonopoli penerbitan bahan bacaan bagi anak-anak sekolah zaman penjajahan. Kriteria bacaan yang baik ditentukan oleh badan ini (Sumardjo, 1999: 110).
Pada tahun 1942, Indonesia dikuasai oleh Jepang. Paling tidak terdapat dua novel yang terbit pada waktu-waktu itu, yaitu, Cinta Tanah Air--CTA (1944; Balai Pustaka) karya Nur Sutan Iskandar dan Palawija (1944; Balai Pustaka) karya Karim Halim. Kedua-duanya sarat akan wacana militer dan propaganda. Amirrudin, tokoh utama dalam Cinta Tanah Air merupakan anggota PETA yang begitu mengagumi Jepang terutama semangat bushido-nya. Amirrudin, begitu takjubnya kepada kehebatan tentara Jepang, baik itu Seinendan (CTA, 11), Keibodan (CTA, 21), maupun Heiho (CTA, 72). Oleh karena ketakjubannya itu ia kemudian masuk PETA. Bala tentara Dai Nippon tak mau mundur, bahkan tak tahu arti mundur (CTA, 77). Bala tentara Nippon memiliki semangat kesatria yang tak takut mati (CTA, 109). Akibat kemenangan Nippon terhadap Rusia, dunia Timur menjadi bangkit (CTA, 65). Pemerintah bala tentara Nippon juga membuka banyak lapangan pekerjaan. ...pemerintah bala tentara segera mengatur penghidupan rakyat dengan sebaik-baiknya. Bermacam-macam kerja dan usaha diadakan. Mana yang mau bertani diberi tanah...” (CTA, 64).
Ia juga mempercayai bahwa Jepang merupakan penolong Indonesia dari penjajahan Belanda. Jepang datang sebagai saudara tua Indonesia. Menurut mereka, Indonesia dan Jepang sama-sama kulit berwarna [yang berarti oposisi dari kulit putih] (CTA, 77). Mereka sangat membenci Belanda. Belanda hanya mementingkan kepentingan sendiri, tidak peduli kepada rakyat Indonesia. Belanda jahat dan sangat kejam kepada rakyat Indonesia.Jepang menawarkan kesamarataan dan keadilan. Tidak ada pembedaan kelas asing atau ‘inlander’ (CTA, 28). Jepang dikirimkan oleh Allah untuk membantu Indonesia merdeka (CTA, 122). Mereka memiliki semboyan; Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, Sekutu kita sapu (CTA, 165). Begitu pula dengan Sumardi, tokoh utama novel Palawija. Ia adalah anggota PETA yang ikut berjuang bersama Jepang  untuk mengusir Belanda dari Indonesia.
Pada zaman pendudukan Jepang ini peranan Balai Pustaka masih besar. Namun sensor redaktur sudah tidak bersifat kolonial lagi, terbukti dari terbitnya novel-novel yang “melawan Belanda” (Sumardjo, 1999:119). Jepang ingin merebut simpati Indonesia dengan menempatkan diri sebagai pahlawan yang membantu mengusir Belanda. Pemerintah Jepang mendirikan satu lembaga yang disebut Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso untuk menghimpun tenaga sastrawan dan seniman, agar mereka dapat dimanfaatkan bagi kepentingan perang Asia Timur Raya. Lembaga ini melaksanakan sensor keras terhadap penerbitan, menghasilkan karya sastra yang sejalan dengan “pesanan” pemerintah, sehingga dalam berbagai karya sastrawan yang dihasilkan, unsur propaganda tidak dapat dielakkan. Hal ini tampak pada dua novel di atas.
Setelah Indonesia merdeka, novel dengan muatan militer baru muncul sekitar tahun 1950-an, ditandai dengan novel Surapati (1950; Balai Pustaka) karya Abdul Muis. Selanjutnya secara berturut-turut, novel Perburuan (1950; Balai Pustaka), Keluarga Gerilya (1950; Pembangunan), Di Tepi Kali Bekasi (1951; Balai Pustaka), Mereka yang Dilumpuhkan (1951; Balai Pustaka) karya Pramoedya Ananta Toer; Djokja Diduduki karya Muhamad Dimyati (1950; Gapura); Menunggu Bedug Berbunji karya Hamka (1950; Firma Pustaka Antara); Jalan Tak Ada Ujung (1952; Pustaka Jaya) karya Mochtar Lubis; Robert Anak Surapati (1953; Balai Pustaka) karya Abdul Muis; Telaga Darah karya Damhoeri (1956; UP Tagore); Pulang (1958; Pembangunan) karya Toha Muchtar; Pagar Kawat Berduri (1963; Djambatan) karya Trisnoyuwono; Sepasang Suami Istri (1964; Firma Mega Bookstore) karya Satyagraha Hoerip; dan Tanah Kesayangan karya Bokor Hutasuhut (1965).
Pemerintahan Soekarno mendapat dukungan dari negara-negara sosialis di Eropa dan Asia Timur. Ia melancarkan kampanye menentang pengaruh imperialisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia (JKB,1999:24 ; Kahin, 1995). Kedekatan Soekarno dengan negara-negara sosialis Eropa Timur ini berimplikasi pada banyak hal. Salah satunya kehidupan pers dan karya sastra. Segala buku (karya sastra) yang berasal atau berbau Barat dilarang terbit dan dibredel bagi yang sudah terbit. Undang-undang yang mendasari pelarangan tersebut antara lain, Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer No. PKM/001/9/1956 dan Penetapan Presiden No.4/1963 (JKB, 1999:16,21).
Implikasinya terhadap wacana militer dalam novel-novel yang terbit pada masa itu adalah terjadinya booming tema-tema revolusi yang menyoroti perjuangan tentara nasional melawan penjajah seperti telah diungkapkan di atas. Novel-novel bertema revolusi ini sangat dianjurkan untuk memupuk rasa nasionalisme rakyat—yang berarti langgengnya kekuasaan pemerintahan/Soekarno.
Berbagai kriteria seorang pejuang (militer) yang ideal dihadirkan. Tokoh Hardo dalam novel Perburuan, tokoh Hazil dalam Jalan Tak Ada Ujung, dan tokoh Herman serta Toto dalam Pagar Kawat Berduri adalah orang-orang yang memiliki semangat juang sangat tinggi dan rela mengorbankan apa saja demi tanah air.. Mereka juga penuh kasih sayang dan berjiwa besar. Sebagai contohnya adalah Hardo. Ia adalah serdadu Peta yang memberontak dan gagal dan akhirnya diburu-buru (PB, 1949: 59). Dalam pengejarannya, Hardo menemukan kenyataan bahwa orang-orang telah berkhianat padanya, mereka tunduk pada Jepang, mereka pengecut dan pecundang. Namun, Hardo tetap mempertahankan prinsipnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, memaafkan orang-orang yang telah berkhianat (PB, 1949:123), dan tetap memelihara cintanya pada sang kekasih. Hazil juga menampakkan sifat-sifat yang sama dengan Hardo.
Bagi Hazil, individu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia (JTU, 40).
Karakter Hardo dan Hazil di atas bertentangan sekali dengan karakter serdadu-serdadu musuh (Belanda atau Jepang). Dalam Pagar Kawat Berduri, ada seorang serdadu Belanda bernama letnan de Groot (ia memang besar dan tegap) yang berpedoman pada kekerasan untuk melaksanakan kewajibannya, sebab ia percaya hanya dengan kekerasan bisa tercapai keberesan dan kerapihan dalam mengurus tawanan...ia memperlakukan para tawanan sebagai sekumpulan binatang yang keras kepala dan angkuh (PKB, 22).
Tokoh-tokoh pejuang di atas adalah tokoh-tokoh pemuda yang terpelajar, cerdik, dan gagah. Herman dan Toto sebagai contohnya. Mereka menjadi telik sandi yang tugasnya menyelundup untuk berhubungan dengan orang-orang tertentu. Mereka berani dan cerdik (PKB, 2). Toto pernah menunjukkan keberaniannya ketika ia dan Herman dalam suatu pasukan terjebak patroli Belanda. Herman yang menuntun menyelamatkan pasukan dan Toto seorang diri memancing menyesatkan serdadu-serdadu Belanda dan kemudian  menembakinya (PKB, 2).
Mereka berada setingkat lebih terpelajar dan beradab dibanding dengan pejuang-pejuang lain yang cenderung gegabah, tidak berpikir panjang, dan dalam tataran tertentu mereka sangat kejam. Hal ini tampak pada perilaku teman-teman seperjuangan Hazil dalam novel Jalan Tak Ada Ujung. Mereka melakukan kekerasan dan kekejaman membabi buta terhadap semua orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. ...dua orang perempuan Tionghoa. Kita potong tiga hari yang lalu. Ketangkap lagi lewat kampung. Diperiksa tidak mau mengaku, katanya mau menagih hutang. Hutang apa—hah, terus dibeginiin. Dia menggerakan tangannya seakan orang yang hendak mencabut golok, kemudian dengan jari telunjuknya digoresnya lehernya (JTU, 66).
Secara keseluruhan wacana-wacana militer yang berkembang masih berkisar tentang kebiadaban penjajahan Belanda ataupun Jepang. Corak militer yang dihadirkan adalah corak militer masa lalu. Selain karena pada masa itu semangat revolusi masih sangat dominan dalam alam pikiran seluruh rakyat Indonesia, keadaan militer pada masa awal kemerdekaan juga belum stabil, masih dalam taraf mencari bentuk. Dalam proses tersebut terjadi berbagai macam ketegangan dan friksi di tubuh intern militer Indonesia sehingga kedudukannya dalam pemerintahan belum jelas dan mantap. Oleh karena itu, militer Indonesia—dalam pengertian militer yang dimiliki secara resmi oleh suatu negara merdeka—belum muncul atau diwacanakan dalam novel-novel. 
Namun ada perubahan posisi, dan bahkan ada perubahan kriteria dan sikap-sikap di dalam militer dibandingkan dengan citra-citra militer pada novel-novel terdahulu. Perubahan posisi terlihat jelas, jika dalam novel-novel pada masa penjajahan, pejuang dianggap musuh maka kini berlaku sebaliknya. Perubahan sikap berkaitan dengan semangat humanisme yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti Hardo dan Hazil. Mereka militer yang manusiawi, yang berperasaan, dan setia. Gambaran militer demikian tidak terlalu tampak dalam novel-novel pada masa sebelumnya (masa kolonial dan pendudukan Jepang).
Pada tahun 1966, dengan dikeluarkannya Supersemar, tampuk kekuasaan pemerintahan Indonesia berpindah dari tangan Soekarno ke Soeharto. Sejak itu diberlakukan pemerintahan yang dinamakan Orde Baru (Orde Baru menamakan pemerintahan Soekarno sebagai Orde Lama).   Novel-novel berwacana militer yang terbit pada masa Orde Baru, antara lain, Masa Bergolak (1968; Balai Pustaka) karya MA. Salmoen, Pergolakan (1974; Pustaka Jaya) karya Wildan Yatim, Dari Hari ke Hari (1975; Pustaka Jaya) karya Mahbub Junaidi, Perjanjian dengan Maut (1976; Pustaka Jaya) karya Harijadi S. Hartowardjojo, Maut dan Cinta (1977) karya Mochtar Lubis; Tunas-Tunas Luruh Lagi Tumbuh (1977) karya Canny R Talibonso; Tuyet (1978; Gramedia) karya Bur Rasuanto; Dan Perang pun Usai (1979; Pustaka Jaya) karya Ismail Marahimin; Si Bongkok (1981; Gramedia) karya Parakitri; Kubah (1980; Pustaka Jaya) dan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Gramedia) karya Ahmad Tohari; Burung-Burung Manyar (1981; Djambatan) karya YB. Mangunwijaya; Kalah dan Menang (1981) karya STA Lembah Membara (1984; Pustaka Jaya) karya Moerwanto, dan Anak Tanah Air (1985; Gramedia) karya Ajip Rosidi.
Pemerintahan Orde Baru memakai kekerasan terhadap lawan dengan menggunakan ABRI sebagai tiang pokok dukungannya (militeristik). Orde Baru juga mengerahkan negara menjadi alat ampuh untuk menjalankan kebijakan sambil meyakinkan rakyat tentang misinya untuk menjalankan pembangunan otoriter dan menjaga persatuan nasional (Liddle, 2001: 80). Dalam menjalankan pemerintahannya ini, ABRI menjadi salah satu aparat represif atau Represive State Apparatuses (RSAs). Selain itu, Orde Baru juga menggunakan Ideological State Apparatuses (ISAs). Aparat RSAs meliputi polisi, sistem pengadilan, dan tentara, sedangkan ISAs meliputi pendidikan, keluarga, hukum, media, partai politik, sastra, dan seni (Salam, 2004: 15-26). Aparat ISAs pada masa Orde baru berfungsi membimbing kesadaran melalui praktik hegemoni seperti yang dilakukan orde-orde sebelumnya demi mencapai apa yang disebut ‘stabilitas nasional’
Oleh karena novel (karya sastra) merupakan bagian dari ISAs, maka keberadaannya perlu dikendalikan. Secara eksternal, Orde Baru mengendalikan novel-novel dengan menggunakan peralatan RSAs berupa UU, peraturan, dan aparat yang berhak melakukan pembredelan dan pelarangan terhadap sebuah novel yang dianggap membahayakan. Haryanto (1999) mengungkapkan ada beberapa UU yang digunakan untuk melarang sebuah novel, antara lain, UU Antisubversi (UU no.11/63), Haatzai Artikelen dalam KUHP, dan UU Pertahanan Keamanan Negara. Pelarangan tersebut berlaku pada novel-novel yang muatannya dapat mengancam keamanan negara, mengganggu ketertiban umum, dan membahayakan stabilitas nasional.
Secara internal, Orde Baru menanamkan konsensus dalam pikiran sastrawan melalui kerja hegemoni. Keyakinan bahwa keamanan dan ketertiban negara harus dijaga dengan menghindarkan pikiran dan tema-tema subvesif senantiasa ditanamkan dalam pikiran sastrawan. Hal ini penting karena sastrawan dan karya sastra merupakan bagian dari ISAs Orde Baru.
Seperti sudah diungkapkan di atas, bahwa Orde Baru sangatlah militeristik. Militer mendapatkan tempat yang begitu luas sekaligus menjadi alat kekuasaan yang paling diandalkan. Dalam kaitannya dengan karya sastra, militer merupakan lembaga utama yang mempunyai wewenang untuk melakukan pelarangan ataupun pembredelan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain, Kopkamtib, Kejaksaan Agung,  dan kepolisian.
Oleh karena itu, bisa dipastikan kendali Orde Baru ini menghasilkan novel-novel yang kompromis terutama yang berkaitan dengan wacana militer. Novel-novel ini  menghadirkan wacana militer ‘sesuai jalur’ Orde Baru. Secara historis, pada masa Orde Baru militer hampir berada di setiap lini kehidupan masyarakat. Demikian pula yang digambarkan dalam novel-novelnya. Militer adalah pahlawan, pembela rakyat, dan penjaga kedaulatan negara dari pemberontak (terutama PKI). Misalnya, peranan ABRI menumpas PKI dan PRRI dalam novel Pergolakan. Musuh militer adalah musuh rakyat, seperti terlihat dalam novel Si Bongkok, Kubah, dan Dari Hari ke Hari. Menjadi bagian dari militer adalah kebanggaan setiap orang seperti dialami tokoh Muladi dalam Masa Bergolak, seorang insinyur yang rela menjadi tentara untuk membela negara. Militer dihormati banyak orang seperti tokoh Rasus dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Militer mempunyai masa depan yang cerah, kedudukan sosial tinggi di masyarakat, dan lain-lain.
Rasus dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah fenomena paling menarik dan sekaligus paling mewakili gambaran citra militer dalam novel yang sesuai dengan ‘keinginan negara’. Sebelum menjadi tentara, Rasus adalah warga biasa yang miskin dan bodoh. Namun ia memiliki kekaguman luar biasa pada tentara. Bisa berjalan bersama tentara, atau hanya memakai baju bekas mereka adalah suatu kehormatan bagi Rasus (TRDP, 91-92). Tentara hadir di desa Rasus untuk menumpas pemberontak, dan mereka berhasil. Desa menjadi aman kembali. Rasus diajari membaca dan menulis oleh Sersan Slamet, komandan kompi tentara tersebut (TRDP, 93-94). Dapat dikatakan Rasus berguru padanya. Rasus juga menjadi rajin beribadah sejak bergabung dengan tentara-tentara itu. Dari orang yang biasa Rasus menjadi orang yang sangat dihormati. Semua hendak melayaninya.
Jadi, militer dalam novel-novel Orde Baru digambarkan sebagai orang-orang yang nyaris sempurna. Peranannya tidak hanya sekedar pertahanan, tetapi juga secara kemasyarakatan. Tentara—dalam kasus Rasus—menjadikan seseorang sebagai ‘manusia sempurna’, baik secara pendidikan maupun secara spiritual. Dalam hal status tentara sendiri merupakan status yang tinggi, yang dinginkan dan dihormati setiap orang. Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan lain-lain yang menggambarkan militer dengan kriteria-kriteria di atas adalah novel kompromis, novel yang menyesuaikan ceritanya dengan misi negara.
Jika tidak kompromis, maka wacana militer muncul secara simbolis-strategis. Novel-novel simbolis strategis mencoba lepas dari hegemoni namun berusaha menyiasati dengan mewacanakan militer melalui berbagai simbol dalam unsur-unsur intrinsiknya. Selain itu digunakan strategi seperti mengubah latar dan merekayasa tokoh. Novel Tuyet dan Lembah Membara menceritakan otoriter dan kekerasan dalam dunia militer. Namun latar yang digunakan di luar negeri (Vietnam dan Eropa).  Kekerasan militer juga dihadirkan melalui tokoh-tokoh kecil yang tidak penting, jauh dari teritorial pemerintah (penguasa), atau bahkan dihadirkan melalui musuh penguasa.
Baik novel kompromis maupun novel strategis, kedua-duanya merupakan produk pengendalian Orde Baru. Jika disimpulkan, meskipun dalam kurun waktu empat zaman di atas Indonesia menjalankan sistem pemerintahan dengan ideologi, peraturan, kecenderungan, dan kepentingan yang berbeda-beda, tetapi kekuasaan pada empat zaman tersebut memiliki kesamaan dalam hal kendali terhadap novel-novel—yang berarti juga terhadap wacana-wacana militer di dalamnya. Meskipun kriteria-kriteria menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak itu berbeda-beda sesuai dengan ideologi masing-masing zaman, alasan utama mereka tetap sama, yaitu, menjaga ketertiban dan keamanan negara yang berarti untuk menjaga kepentingan penguasa
Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 ditandai dengan reformasi besar-besaran dalam sistem pemerintahan dan perundang-undangan. Salah satunya adalah penghapusan UU Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan  Subversi melalui PUU No.26 tahun 1999. Penghapusan undang-undang ini menjadi semacam gerbang kebebasan. Novel-novel yang selama masa-masa sebelumnya dilarang kemudian diterbitkan dan beredar bebas di pasaran. Wacana-wacana militer yang dulu tidak diceritakan mendapatkan tempatnya kembali.
Terjadi perubahan mekanisme produksi wacana militer. Militer yang dulu dianggap sebagai pahlawan, guru, orang terhormat, bahkan dalam taraf tertentu seperti kiai, berubah menjadi orang yang gampang membunuh, suka menculik, penyebar kebohongan, korupsi dan sebagainya. Ayu Utami dalam kedua novelnya, Saman (1998) dan Larung (2001) memaparkan dengan jelas bagaimana militer memiliki otoritas penuh untuk menuduh seseorang adalah musuh negara. Dalam Saman militer sebagai aparat keamanan bebas melakukan pembunuhan terhadap seseorang hanya lantaran dicurigai mengajarkan paham komunisme di Indonesia. Sementara itu, Larung menceritakan bagaimana militer sebagai intelejen negara telah menyebarkan ingatan palsu/buatan kepada masyarakat tentang peristiwa G30S PKI
Intrik politik dan kekerasan yang dilakukan oleh militer di Penjara Nusakambangan, Penjara Sukamiskin, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Kuil Yasukuni Tokyo, hingga ke Hiroshima, Kamp Konsentrasi Nazi Sachsenhausen dan Holocaust Memorial Berlin diungkap dengan jelas dalam novel Bulan Jingga dalam Kepala (2007) karya Fadjroel Rachman. Penculikan militer terhadap mahasiswa dan orang-orang yang dianggap berbahaya juga dipaparkan dalam novel Epigram (2005) karya Jamal. Nada-nada sejenis tentang militer juga dipaparkan oleh novel-novel lainnya.
Namun, perlu diketahui bahwa militer yang diceritakan lebih terbuka dalam novel-novel pasca Orde Baru adalah gambaran militer masa lalu (khususnya militer masa Orde Baru). Sampai tahun 2009 ini berdasarkan penelusuran penulis, wacana militer pasca Orde Baru tidak diceritakan dalam novel-novel. Hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, berbagai tekanan dan pengendalian yang ketat dari negara pada masa Orde Baru membuat sastrawan tak bisa menceritakan militer dengan bebas. Hal itu baru bisa dilakukan setelah Orde Baru runtuh.
Kedua, perlu diperhatikan bahwa keruntuhan Orde Baru ditandai oleh reformasi besar-besaran terhadap berbagai konsep, kebijakan, ataupun undang-undang. Salah satunya adalah penghapusan Dwi fungsi ABRI. Hal ini disambut baik oleh seluruh masyarakat karena selama ini Dwi Fungsi ABRI merupakan payung hukum bagi militer untuk melakukan berbagai tindakan yang dirasa masyarakat telah melampaui hak-hak dan kewajibannya. Implikasi lain yang lebih penting adalah adanya harapan dan kepercayaan baru terhadap militer dari kalangan sipil, termasuk sastrawan. Berbagai perubahan dan reposisi militer dalam negara menjanjikan citra yang lebih baik bagi diri militer sendiri. Oleh karena itu sastrawan merasa tidak lagi berkepentingan mendiskreditkan militer melalui karya-karyanya. Jika pada waktu-waktu kemudian militer diceritakan dalam novel, maka tidak menutup kemungkinan militer akan dicitrakan lebih baik daripada wacana-wacana yang sudah lebih dulu muncul.

KESIMPULAN
Aspek militer telah diwacanakan dalam novel-novel Indonesia dari mulai Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli hingga Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami. Negara dalam hal ini berperan penting menggiring wacana-wacana militer tersebut. Novel tidak dibiarkan mewacanakan sesuatu—dalam hal ini militer—di luar garis yang telah ditentukan olehnya. Padahal dalam kenyataan, militer dengan  kedudukannya yang begitu kuat dapat dipersamakan dengan negara itu sendiri. Jadi, citra militer yang tampak pada novel-novel dari masa pemerintahan Belanda hingga Orde Baru dalam beberapa aspek menunjukkan adanya kesamaan. Militer yang baik adalah militer negara. Militer yang melindungi rakyat, penuh sopan-santun, dan berbudi. Militer yang tidak baik bukan militer negara. Mereka adalah musuh yang harus dihancurkan.
Terlepas dari semua itu, wacana yang satu selalu hadir secara berdampingan dengan wacana yang lain. Bukan dalam bentuk dikotomi sederhana melainkan lebih rumit. Wacana-wacana tersebut saling bertanding. Demikian pula wacana militer dalam karya sastra. Sastrawan seperti halnya kaum sipil lainnya juga merasakan dinamika hubungan sipil dan militer yang dalam banyak hal selalu dipertentangkan ataupun saling mempertentangkan diri. Namun, sekali lagi karena militer begitu kuasanya, maka  wacana-wacana tandingan tersebut menjadi terkalahkan atau tersembunyi.
Wacana-wacana militer yang tersembunyi ini mendapatkan tempatnya kembali ketika kekuasaan Orde Baru runtuh. Seiring berjalannya waktu, dikotomi sipil dan militer pun mulai mencair. Bukan hanya karena berbagai perbaikan dalam sistem negara yang berkaitan dengan militer, namun juga niat dalam diri militer sendiri untuk memperbaiki dan memposisikan kembali pada fungsi hakikinya sebagai alat pertahanan negara.


Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.
Finer, SE. 1962. The man On Horseback: The Role of the Military in Politics. New York, N.Y: Frederick A. Praeger.
Haryanto, Ignatius. 1999. Kejahatan Negara, Telaah tentang Penerapan Delik Keamanan Negara. Jakarta: ELSAM
Jaringan Kerja Budaya (JKB). 1999. Menentang Peradaban, Pelarangan Buku di Indonesia. Jakarta: ELSAM
Kahin, Audrey dan George McTurnan Kahin. 1997. Subversi sebagai Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Press
Jassin, HB. 1975.  Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka
Muhaimin, Yahya A. 2002. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Liddle, R. William. 2001. “Rezim Orde Baru” dalam Indonesia Beyond Soeharto. Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Donald K. Emmerson (ed). Jakarta: Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam, Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKiS
Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: penerbit Alumni

Novel-Novel
Halim, Karim. 1944. Palawija. Jakarta: Balai Pustaka.
Iskandar, Nur St. 1984. Hulubalang Raja (Cet. 8). Jakarta: Balai Pustaka
Iskandar, Nur St. 1963. Cinta Tanah Air (Cet. 4). Jakarta: Balai Pustaka
Jamal. 2005. Epigram. Jakarta: Gramedia
Juwono, Trisno. Pagar Kawat Berduri. Jakarta: Djambatan
Lubis, Mochtar. 1952. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Balai Pustaka
Moerwanto. 1984. Lembah Membara. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rachman, Fadjroel.2007. Bulan Jingga dalam Kepala. Jakarta: Gramedia
Rasuanto, Bur. 1978. Tuyet. Jakarta: Gramedia
Rusli, Marah. 1990. Sitti Nurbaya (cet.20). Jakarta: Balai Pustaka
Salmoen, MA. 1964. Masa Bergolak. Jakarta: Balai Pustaka
Sati, Tulis Sutan. 1972  Sengsara Membawa Nikmat (Cet. 2). Jakarta : Balai Pustaka
Toer, Pramoedya Ananta. 1952. Perburuan (cet.2). Jakarta: Balai Pustaka
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk (Trilogi, Cet.2). Jakarta: Gramedia
Utami, Ayu. 2002. Saman (cet.20). Jakarta: KPG
Utami, Ayu. 2002. Larung (cet.2). Jakarta: KPG
Yatim, Wildan. 1974. Pergolakan. Jakarta: Pustaka Jaya.





[1] Mahasiswa S-1 Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
[2] Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Kamis, 19 April 2012

Kajian Sastra Modern Indonesia


MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI
KAJIAN SASTRA MODERN INDONESIA[1]

Oleh Aprinus Salam[2]

            Cerita fiksi adalah sebuah wacana karena ditulis dengan maksud dan tujuan tertentu, dikemas dengan cara dan dalam cara bercerita tertentu. Namun demikian, sebebas apapun ruang yang disediakan oleh fiksi, kehadirannya tidak membebaskan cerita dari suatu konteks wacana dan kesejarahannya.

            Fiksi hadir  berkat dan dalam satu konteks pengaturan wacana (historis) sehingga setiap konteks wacana melahirkan cerita fiksi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu berkaitan dengan tema, gaya penceritaan, penokohan, latar penceritaan, sudut pandang penceritaan, dan sebagainya. Siti Nurbaya dan Azab dan Sengsara hadir sesuai dengan konteks historis yang melingkunginya, pada tahun-tahun 1920-an, satu kontektualisasi yang kemudian disebut sebagai periode Balai Pustaka. Demikian pula halnya dengan cerita-cerita fiksi pada tahun 1980-an, muncul karena adanya tuntutan keadaan pada waktu-waktu itu.

Dalam konteks sosial-politik tahun-tahun 1980-an dan hingga 1990-an, saat kekuasaan Orde Baru berada dalam posisi yang hegemonik, kesusastraan di Indonesia mengalami kegairahan dengan munculnya sejumlah novel dengan nuansa Jawa, atau paling tidak novel yang ditulis oleh orang Jawa dalam bahasa Indonesia, suatu hal yang secara mudah dapat diketahui oleh mereka pembaca awam.

Fenomena tersebut terbukti dengan munculnya sejumlah novel berbahasa Indonesia yang ditulis pengarang Jawa seperti akan dibicarakan kemudian. Kegairahan tersebut dapat ditafsirkan dalam berbagai cara dan tidak semata-mata dianggap sebagai bentuk resistensi dari sekelompok masyarakat, utamanya para sastrawan, terhadap kekuasaan Orde Baru. Paling tidak kegairahan novel berwarna lokal dengan variabel wacana (cerita) yang dimobilisasi dalam novel tersebut, memberi perimbangan wacana, sebagai siasat tekstual, terhadap dinamika dalam formasi kultural dan politik, ataupun secara internal terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kompleksitas permasalahan yang meliputi hal-hal tersebut tentulah cukup beragam dan sangat mungkin perspektif analisis tertentu memberikan analisis yang berbeda terhadap kecenderungan umum, baik pada tingkat kategori maupun variabel-variabel lain yang ikut mempengaruhi analisis tersebut. Latar politis tersebut secara keseluruhan dianggap berpengaruh terhadap dinamika dan perkembangan kesusastraan Indonesia.

Pilihan terhadap rentang tahun-tahun tersebut merupakan pilihan yang dianggap strategis. Pertama, tahun-tahun tersebut merupakan tahun-tahun ketika pemerintahan Orde Baru  berposisi sangat kuat berhadapan dengan masyarakat. Rezim Orde Baru memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengontrol sepak terjang dan segala prilaku masyarakat, bahkan hingga tingkat tertentu negara mampu mengontrol atau mengatur daya imajinasi para penulis sastra. Pilihan tersebut sekaligus menempatkan karya sastra sebagai sesuatu yang hadir berkat dan di dalam lingkungan sosial-politiknya.

Kedua, pada tahun-tahun tersebut sastra novel mengalami kegairahan dengan munculnya sejumlah novel yang menarik perhatian masyarakat. Memang, kecenderungan itu, yang kemudian disebut dengan merebaknya “warna lokal” secara relatif muncul dari beberapa lokal di Indonesia, Akan tetapi, dominasi novel dengan sensivitas lokal Jawa dianggap mendominasi kesusastraan Indonesia. 

Sesuai dengan karakternya, secara imajinatif novel memiliki kemampuan yang luas dalam menceritakan seluk beluk kehidupan sosial (masyarakat) sehingga dalam hal ini novel ditempatkan sebagai cermin masyarakat, dan realitas fiksi secara signifikan dapat diacukan pada realitas atau peristiwa sosial-politik dalam masyarakat. Dengan demikian, pembicaraan tidak hanya mengeksplorasi sesuatu yang bersifat endoforis, dunia internal yang dibangun di dalam novel, kajian ini merefleksikannya pada sesuatu yang eksoforis, yakni suatu kajian yang mengaitkannya dengan dunia eksternal di luar dunia yang dibangun oleh fiksi. 

Ketiga, berkaitan dengan hal pertama dan kedua, kajian ini memfokuskan kajiannya pada aspek dan dimensi sosial-politik fiksi. Pilihan terhadap persoalan itu berkaitan dengan kondisi-kondisi dalam masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa. Paling tidak terdapat dua keadaan pada tahun-tahun tersebut.

(1)       Dalam cara yang sangat terkontrol pemerintahan Orde Baru cukup sukses dalam membangun perekonomian Indonesia. Berkat kesuksesan tersebut Indonesia mengalami perubahan sosial yang deras dalam segala sisi-sisi kehidupan. Indonesia memasuki satu fase yang disebut masyarakat modern dan rasional. Perubahan sosial tersebut melahirkan keretakan, kegelisahan, kegagapan, dan kemiskinan pada sekelompok masyarakat yang tidak siap dalam menghadapi perubahan tersebut. Akan tetapi, sebaliknya, mendatangkan kemudahan, kesenangan, dan peluang-peluang ekonomi dan politik bagi sekelompk kecil masyarakat.
(2)       Keadaan lain yang juga sangat dirasakan adalah mulai menumpuknya kekecewaan masyarakat kepada pemerintahan Orde Baru dalam membangun dan menjalankan kehidupan politik nasional, yang secara luas berimplikasi pada kehidupan sosial-politik lokal. Kekecewaan-kekecewaan tersebut turutama menumpuk dikarenakan kehidupan demokrasi yang dipasung, kesewenang-wenangan merajalela, sebagian besar kebenaran hukum tidak berjalan, dan sebagainya.
           
            Terdapat tiga latar lain yang penting mengapa politik cerita dengan nuansa lokal Jawa novel-novel tahun 1980-an hingga 1990-an menjadi penting untuk dikaji.

            (1) Pada awal pertumbuhan kesusastraan Indonesia, tepatnya pada periode Balai Pustaka, kesusastraan Indonesia didominasi oleh pengarang-pengarang Sumatra (Barat). Hal itu dapat dimaklumi mengingat pengarang Jawa, pada waktu itu, masih mengalami "keterbatasan kebiasaan" dalam mengemukakan gagasan atau cerita dalam bahasa Indonesia (Melayu). Pada awalnya, terdapat sejumlah pengarang Jawa yang sudah mulai menulis prosa (novel) dalam bahasa Indonesia, katakanlah karya-karya Tirtoadhisoerjo dan Marco Kartodikromo. Karya kedua sastrawan tersebut mendapat respons keras dari pemerintah kolonial dan menganggap karya tersebut sebagai "bacaan liar."

            Dalam sejarah Orde Baru, dengan cara yang lebih keras, kekuasaan Orde Baru bahkan melarang sejumlah buku sastra beredar, terutama karya-karya Ananta Toer (lihat Haryanto, 1999, khususnya hlm, 98-99), atau bagaimana ketakutan pemerintah terhadap Wiji Thukul, dan sejumlah sastrawan lainnya yang mendapat cegah tangkal. Peristiwa itu membenarkan dugaan Foucault bahwa karya sastra telah memulihkan kembali bahasa dari sekadar tatabahasa menjadi kuasa tutur yang transparan, makhluk yang tidak terjinakkan, dan penuh kuasa (Foucault, 1977: 300). Akan tetapi, yang ingin ditegaskan adalah bahwa secara kuantitatif pada waktu keberadaan pengarang Jawa tidak sedominan pengarang Sumatra Barat. Itu pula sebabnya, kajian-kajian pada periode tersebut sebagian besar membicarakan novel-novel yang ditulis oleh pengarang Sumatra (Barat).
           
            (2) Kajian-kajian kesusastraan sebagai dan dalam fenomena ataupun perspektif politik cerita masih dirasakan minimal. Seperti telah disinggung, ada beberapa situasi yang berpengaruh terhadap kajian kesusastraan pada waktu itu, dan dalam beberapa hal masih dapat dirasakan hingga waktu-waktu kemudian. Di antaranya, pertama, situasi teori dan kritik kesusastraan itu sendiri. Sebagai mana diketahui, teori dan kritik sastra di Indonesia, khususnya sebelum tahun 1980-an, belum memberikan bentuk yang cukup kokoh sebagai satu tradisi kritis dalam kajian kesusastraan Indonesia. Itu pula sebabnya, tidak mengherankan, terdapat sejumlah kerancuan dalam melihat fenomena perkembangan dan dinamika kesusastraan Indonesia. Kerancuan tersebut terdapat pada pencampuran kesan-kesan subjektif yang berpretensi besar untuk menghakimi dan menilai mutu karya sastra berhadapan dengan tuntutan objektif teori sastra struktural objektif yang pada waktu itu mendominasi teori dan kritik sastra Indonesia. Analisis terhadap situasi itu secara cukup komprehensif dapat dilihat dalam Pradopo (2003).
           
            (3) Sejumlah pembicaraan tentang perkembangan dan dinamika kesusastraan Indonesia menempatkan objek kajian kesusastraan sebagai representasi kesusastraan Indonesia, dengan mengabaikan perspektif lokalisasi budaya tertentu dan mengabaikan keunikan sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia. Setiap novel yang hadir merupakan representasi dari ke-Indonesia-an. Padahal, dalam praktiknya, setiap masyarakat mengalami lokalisasi dan pengalaman yang berbeda-beda, sesuai dengan praktik-praktik budaya yang dihadapi sehari-hari, misalnya saja dalam hal melihat dan merespons hal-hal yang berkaitan dengan makna perubahan sosial. Hal ini, tidak hanya memperlihatkan dominasi perspektif teori sastra yang sedang berkembang pada waktu itu, tetapi kontrol dan tuntutan wacana yang diproduksi dan direproduksi negara untuk menafikan lokal-lokal sebagai perbedaan tampaknya cukup dirasakan.[3]
           
            Kondisi lain yang ikut menentukan tradisi kajian sastra Indonesia pada waktu itu adalah situasi sosial-politik. Pembicaraan tentang kesusastraan Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan, secara umum disemangati oleh cita-cita nasional berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, dan dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Semangat berbangsa satu, bertanah air satu, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia tersebut masih terbawa-bawa hingga setelah periode kemerdekaan. Itu pula sebabnya, karya sastra yang berbahasa Indonesia secara otomatis adalah representasi Indonesia, dengan mengabaikan kemungkinan bahwa setiap karya sastra memberikan wacana tersendiri yang khas pada dirinya, semisal jika karya tersebut ditulis oleh orang Jawa, pastilah berbeda dengan karya sastra yang ditulis oleh orang Minang, orang Dayak, walaupun sama-sama dalam bahasa Indonesia.
           
            Akan tetapi, perlu diakui bahwa kajian ini tidak berpretensi membandingkan "suara-suara lokal" yang berbeda-beda antara satu praktik budaya dengan budaya lain dalam masyarakat Indonesia. Kajian ini berpretensi berdasarkan asumsi teoretis bahwa pengalaman sosial dan budaya, juga pengalaman inklusif terhadap karya sastra, selayaknya dipandang sebagai keunikan yang perlu diakui sebagai perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut meliputi pengalaman berbahasa (Indonesia), tradisi seni-sastra, dan sejumlah peristiwa sosial dan politik, dengan intensitas dan kualitas tertentu, tidak dapat disamakan begitu saja antara satu wilayah budaya dengan wilayah budaya yang lain. Artinya, seperti telah disinggung, kajian ini secara langsung telah menyarankan bahwa karya sastra yang akan dibicarakan adalah karya sastra (novel) yang ditulis orang Jawa.

            Namun, perlu dijelaskan bahwa hadirnya istilah orang Jawa tidak dimaksudkan sebagai substansi kajian. Penjelasan tersebut dilihat sebagai satu pembatasan masalah belaka. Paling tidak asumsi tersebut didukung karena Jawa, dan khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta, adalah satu wilayah sosial, kultural yang berbeda dibanding wilayah mana pun di Indonesia. Perbedaan utama yang dilihat lebih dalam dinamika perkembangan wacana-wacana sosial, politik, dan kebudayaan.
           
            Dalam sejarah sosial dan politik Jawa merupakan salah satu tempat kegiatan politik dan pendidikan yang penting. Di samping jumlah penduduk Jawa yang meliputi lebih kurang 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia, peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan proses-proses perjuangan menuju nasional Indonesia banyak terjadi di Jawa (Ricklefs, 1998). Informasi ringkas tersebut hanya ingin mengatakan sejauh mana dinamika dan peran intelektual, kultural, dan politik yang pernah dimainkan oleh orang (pengarang) Jawa, baik pada tingkat individual maupun masyarakat.

            Sejauh yang dapat dicatat, pengarang Jawa, dalam rentang waktu yang cukup panjang, telah memberikan sumbangan yang cukup penting bagi khazanah sastra modern Indonesia. Hal itu dapat diketahui dari banyaknya sastrawan dan penyair yang bermunculan di Jawa, terutama setelah 1960-an, dan lebih khusus setelah 1970-an, dan telah ikut meramaikan khazanah sastra Indonesia. Fokus kajian disertasi ini adalah mengkaji kontribusi pengarang Jawa berbahasa Indonesia dalam relasi dan lingkaran kekuasaan Orde Baru. 
           
            Dalam penjelasan lain, para pengarang ketika menulis sebuah karya sastra, khususnya prosa novel, mencoba mewacanakan sesuatu yang disampaikan dalam narari-narasi cerita. Hadir atau munculnya sebuah teks sastra, merupakan hasil dari sebuah proses panjang, rumit, dan kompleks. Proses tersebut melibatkan berbagai aspek, yang setiap aspeknya merupakan satu variabel yang jalin menjalin, jaring-menjaring dengan berbagai aspek lain hingga dalam batas-batas tertentu penting untuk diinterpretasikan lebih jauh. Aspek-aspek yang perlu diperhitungkan antara lain konteks wacana yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, situasi-situasi dan kondisi yang mendeterminasi penulisan teks sastra (baik lokal, nasional, ataupun global), dan mekanisme dan apresisasi terhadap wacana yang dimobilisasi oleh negara.

            Sejumlah kajian kesusastraan setelah kemerdekaan, terbagi ke dalam tiga kecenderungan. Pada awalnya, semangat nasionalisme dan eforia kemerdekaan tampaknya mendominasi ulasan. Hal tersebut tampak pada tulisan-tulisan Rosidi (1964, 1969) dan Jassin (1968, 1985, 1985a, 1985b, 1985c). Akan tetapi, kedua, pada tahun 1960-an wacana pembicaraan kesusastraan bergeser dalam perspektif politik dan ideologi yang berpuncak pada perseteruan Kelompok LEKRA dan Manifes Kebudayaan. Di satu pihak yang pertama mencoba mendayagunakan kesusastraan sebagai alat perjuangan politik, dan hal kelompok kedua adalah mecoba mewacanakan seni atau sastra sebagai alat perjuangan humanisme universal.

            Ujung dari perdebatan tersebut sangat ditentukan oleh kondisi makro politik Indonesia dengan kemenangan Orde Baru sehingga LEKRA yang berafiliasi pada politik Soekarno (pemimpin Orde Lama) secara relatif terpendam atau terkubur. Seperti diketahui, wacana makro politik Indonesia yang dibangun Orde Baru tidak jauh bergeser dari kecenderungan "politik adalah panglima", sehingga wacana kritisisme sastra Indonesia seperti memiliki keengganan, atau bahkan semacam trauma, untuk merelasikan secara bermakna antara dimensi-dimensi kesusastraan dengan persoalan-persoalan politik.
           
            Dalam perkembangan lebih lanjut, sejumlah kajian telah memperlihatkan kecenderungan sosiologis dan politis seperti tampak pada kajian Watson (1972), Junus (1974), Foulcher (1991/1980), Anderson (1996), Faruk (2003/1994), Hellwig (1994), dan Allen (2004). Watson (1972), misalnya, mengkaji novel-novel Indonesia tahun 1920 hingga 1955 dalam kerangka Lukacs dan Goldmann. Kajian Watson termasuk yang cukup komprehensif, walaupun tidak berpretensi atau tidak menempatkan kompleksitas varibel-veriabel kultural yang berbeda-beda dalam masyarakat Indonesia sebagai sesuatu yang memberikan keunikan.

            Junus (1974) membicarakan perkembangan novel-novel Indonesia juga dalam kerangka teori strukturalisme-genetik Goldmann dengan beberapa reduksi sehingga yang tertangkap justru aspek formal karya sastra. Foulcher (1991/1980) termasuk pengkaji yang ketat dalam membahas materi formal kajiannya, walaupun tidak secara eksplisit mendeskripsikan kerangka teorinya, pembatasan masalah hubungan dan perkembangan nasionalitas dalam karya sastra periode Pujangga Baru, tulisan Foulcher memberikan informasi yang menarik berkaitan dengan hubungan sosial dan ideologis antara Pujangga Baru dengan gerakan-gerakan nasionalis dan nasionalisme Indonesia.
           
            Kajian Foulcher (1988) melihat kecenderungan umum sejumlah karya sastra Indonesia setelah  setelah 1965 tanpa membedakan konteks asal usul pengarang. Kajian Foulcher melihat fenomena dan dimensi politis dan simbolis karya-karya Danarto, Bachri, Rendra, dan persoalan sastra kontekstual sebagai peristiwa nasional sastra dalam tekanan politik Orde Baru. Dalam kerangka analisisnya, Foulcher tidak melihat kekhususan-kekhususan per karya, dalam dimensi dan kondisi yang berbeda, sehingga tidak mempersoalkan kemungkinan bahwa setiap wilayah geo-kultural di Indonesia, dalam derajat dan intensitas yang berbeda, memberikan muatan signifikasi yang berbeda-beda pula terhadap berbagai kecenderungan yang sedang terjadi. Secara gamblang hal tersebut diperlihatkan dalam sejarah politik, ekonomi, dan kultural di Indonesia, bahwa perilaku politik dan kondisi-kondisi material atas dominasi dan hegemoni negara terhadap masyarakat, mulai dari zaman pemerintah kolonial hingga pemerintah Orde Baru, antara di Sumatra dan Jawa misalnya, secara praksis terdapat perbedaan yang cukup substansial.
           
            Dalam sebuah kajiannya, Faruk (2003/1994) membahas tradisi (genesis) novel-novel Balai Pustaka (1920-1942) secara semiotik dan sosiologis, juga dalam asumsi bahwa tradisi Balai Pustaka sebagai tradisi penulisan novel awal Indonesia. Seperti kecenderungan besar lainnya, Faruk tidak membicarakan dan mempersoalkan mengapa pada waktu itu sebagian sastrawan dan dan novel ditulis oleh orang Sumatra Barat. Kajian ini terutama mengkaji dan mencari, dalam perspektif Goldmann, pandangan dunia pengarang-pengarang yang disebut dengan tradisi Balai Pustaka, bertradisikan romantisisme. 

            Walaupun Faruk telah melepaskan dirinya dari dominasi teori sastra struktural objektif, pilihan masalah dan kerangka teori yang dipakai Faruk tidak bermaksud menjelaskan proses-proses kehadiran sebuah karya sastra sebagai hasil proses internal kedaerahan masing-masing. Sementara itu, Hellwig (1994) dalam kerangka teori sosiologi-feminis tetap terperangkap untuk memukul rata citra wanita Indonesia dalam sejumlah novel Indonesia, tanpa upaya mengklarifikasi perbedaan-perbedaan kultural yang secara signifikan membedakan citra tersebut untuk setiap lokal-lokal kebudayaan. Satu hal yang perlu dicatat, kajian-kajian yang disinggung di atas, membuka peluang untuk melihat jalinan-jalinan lokalisasi kultural sebagai bagian penting produksi teks sastra.
           
            Arah untuk mengkaji aspek-aspek yang lebih spesifik berkaitan dengan lokalisasi budaya tertentu, berkaitan dengan dan dalam konstelasi politik nasional bukan berarti sama sekali tidak ada. Pada tahun 1980-an, dan khususnya pada tahun 1990-an, semangat dan perkembangan teoretis kajian kesusastraan Indonesia semakin beragam dan kompleks. Pada tahun 1984-1985, sebagai akibat pengaruh relativitas keilmuan, muncul upaya teoretis dan kontekstualisasi karya sastra. Isu ini secara hampir bersama-sama dipelopori oleh Budiman (1984) dan Heryanto (1985), dengan upaya teoretisasi sastra kontekstual. Dalam kenyataannya, kajian sastra kontekstual mendapat sanggahan dari berbagai pihak (Foulcher, 1988: 26-27. Perdebatan tersebut berhenti di tengah jalan, dan tidak lebih menjadi satu tahap historis dari kompleksitas situasi sastra Indonesia.
           
            Tahap sastra kontekstual secara simultan diikuti oleh perdebatan (seminar) mengenai teori dan kritik sastra dengan perhatian pada kehadiran warna lokal, dan pada tahun 1987, Fakultas Sastra UGM menyelenggarakan seminar tersebut. Walaupun dalam beberapa hal seminar tersebut membuahkan beberapa pemikiran tentang makna kehadiran unsur lokal dalam karya sastra, tetapi dalam banyak hal yang lain, seminar itu tidak memfokuskan dirinya pada satu kajian lokal tertentu sehingga kerangka nasional masih mendominasi gagasan-gagasan yang muncul dalam seminar tersebut. 

            Pada tahun berikutnya, 1988, sebagai kelanjutan dari kegiatan akademis tersebut, di Padang diselenggarakan seminar mengenai teori dan kritik Indonesia yang relevan.  Perdebatan tersebut merupakan upaya lebih "membumikan" teori dan kritik sastra Indonesia, dan sebagai implikasinya diharapkan menjadi lebih sesuai jika dipraktikan dan berhadapan dengan karya sastra Indonesia. Dari sejumlah makalah yang dieditori Esten dalam Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (1988), terdapat makalah Umar Kayam yang secara spesifik berbicara tentang "keterbatasan" pengarang Jawa menulis novel dalam bahasa Melayu (Indonesia).

"Pada waktu para penulis susastra mulai menulis dalam bahasa Indonesia, jelas betul mereka yang datang dari kawasan budaya Melayu memimpin perkembangan baru tersebut. Baik pada penulis Balai Poestaka maupun Poejangga Baroe adalah "orang Soematra" yang berbahasa ibu Melayu. Dalam kelompok Poejangga Baroe, misalnya, hanya ada seorang Jawa yang menulis dalam bahasa Melayu tinggi, yaitu Soetomo Djauhar Arifin yang menghasilkan roman Andang Taruna. ... Perbandingan tersebut dapat dipahami apabila diingat bahwa di kawasan budaya seperti Sunda, Jawa, dan Bali, misalnya, suatu tradisi susastra dalam bahasa kawasan telah hadir dalam kurun waktu yang panjang, bahkan sudah mengakar sebagai suatu tradisi. ..." (1988: 119-120).

            Dugaan Kayam tentu sangat beralasan. Sebelum tahun 1950-an, secara internal kesastraan, berdasarkan kajian Hutomo (1975), Quinn (1992), ataupun Damono (2000), pengarang Jawa sebagian besar masih menulis dalam bahasa Jawa (Bdk. dengan M.C. Ricklefs, 1998: 80-81). Dari karya para peneliti tersebut dapat disimpulkan bahwa perhatian pengarang sastra berbahasa Jawa pada masalah-masalah mistisisme Jawa cukup tinggi.

            Akan tetapi, seperti disinyalir oleh J.J. Rass (1985), kualitas sastra Jawa modern dapat dikatakan rendah. Banyak pengarang Jawa yang berbakat pada masa-masa setelah 1950-an, dan terutama 1960-an mulai menulis dalam bahasa Indonesia. Mereka yang mulai menulis pada tahun 1950-an, seperti Sri Murtono, Rendra, Umar Kayam, D. Suradji, Subagio Sastrowardoyo, Kirjomulyo, tampak memberikan kecenderungan mistik Jawa terutama dengan referensi wayang (Soemargono, 1983: 156-179).[4] Dalam situasi tersebut, suatu kajian yang mencoba mengkaji perkembangan dan dinamika sastra modern berbahasa Indonesia pada lokal-lokal tertentu menjadi sangat penting. Akan tetapi, berbeda dengan wacana kesusastraan dalam kerangka geografi dan nasional Indonesia, sastra modern berbahasa Indonesia yang ditulis pengarang-pengarang Jawa mulai mengalami kegairahan penting terutama setelah tahun-tahun 1960-an akhir, dan terutama pada tahun 1980-an.
            Di depan disinggung bahwa ada kemungkinan pengarang Jawa lebih sukar "ditertibkan" oleh negara (pada masa kolonial), sehingga muncul istilah "bacaan liar". Pada masa awal sastra Indonesia, bagi kaum pergerakan, bacaan merupakan alat penyampaian pesan dari orang-orang atau organisasi pergerakan kepada kaum kromo (rakyat). Ada dua tahapan "proses" bacaan di Hindia Belanda. Pertama, bacaan yang dicetak oleh orang-orang peranakan Belanda dan Tiong-hoa yang memiliki rumah cetak dan surat kabar. Teks bacaan yang diproduksi dimulai dengan terjemahan novel-novel fiksi Eropa, seperti karya Robinson Cruso dan Jules Vernes, yang masing-masing diterjemahkan oleh F. Wigeers dan Lie Kim Hok. Kemudian ditambah dengan terjemahan fiksi-fiksi populer di antaranya Hikayat Sultan Ibrahim, Hikayat Amir Hamzah, dan hikayat Jan Pieterzooncoen. Cerita-cerita itu disebarkan melalui berbagai surat kabar. Selanjutnya, bacaan-bacaan ini juga diterbitkan dalam bentuk buku oleh H.C. Klinkert dan A.F. von de Wall.
           
            Tahap kedua adalah bacaan-bacaan yang ditulis oleh orang bumiputra pada awal abad ke-20. Yang menarik dari perkembangan produksi bacaan yang dilahirkan oleh orang-orang bumiputra adalah penggunaan "Malayu Pasar, yang rupanya mengikuti para pendahulunya, golongan Indo dan Tionghoa peranakan. Perkembangan produksi bacaan bumiputra sangat didukung dengan meriapnya industri pers pada awal abad ke-20.

            Dalam hal itu, golongan bumi putra yang dianggap perintis fiksi modern adalah R.M. Tirtoadhisoerjo, dengan karyanya Doenia Pertjintaan 101 Tjerita jang soenggoe terjadi di Tanah Priangan, terbit pada tahun 1906. Kemudian disusul dengan karya lain; Tjerita Njai Ratna (1909), Busono (1912). R.M. Tirtoadhisoerjo juga banyak menerbitkan tulisan nonfiksi. Tulisan Tirtoadhisoerjo mendorong penulis berikutnya, yaitu Marco Kartodikromo, Soeardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen, Darsono, dan sebagainya. Mereka banyak menghasilkan bacaan-bacaan populer yang terutama ditujukan untuk mendidik bumiputra yang miskin (kromo). Kejadian itu hanya memperlihatkan bahwa sejak awal novel Indonesia yang ditulis pengarang Jawa sudah sangat berpretensi politis (Raziz, 2002. Bdk. dengan Toer, 1982: 1-16).

Sementara itu, Anderson (1996) melihat bahwa pengarang Jawa menulis prosa dalam bahasa Indonesia, khususnya kajian Anderson terhadap karya sastra Pramudya Ananta Toer, dilihat sebagai perlawanan internal dan pembebasan terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa yang mengalami krisis berhadapan dengan bahasa Indonesia yang didukung oleh negara. Di samping itu, Anderson juga melihat bahwa konversi pengarang Jawa ke bahasa Indonesia sebagai strategi untuk merebut pembaca berbahasa Indonesia yang semakin luas. Akan tetapi, pilihan dan kesukaan Anderson terhadap karya-karya Toer sedikit banyak terasa agak mencurigakan. Hal tersebut terjadi sebagai sikap perlawanan subjektif Anderson terhadap kekuasaan Orde Baru yang tidak menyukai Anderson.
           
            Dalam beberapa hal, perlu diakui bahwa tampaknya kajian Allen (2004) merupakan kajian yang memiliki kedekatan tertentu dengan kajian yang akan dijelaskan dalam disertasi ini. Allen, dalam paradigma analisis teori tanggapan-pembaca, estetika resepsi dan interpretasi-politis, mengkaji karya-karya Ananta Toer, Mangunwijaya, dan Putu Wijaya. Allen secara luas mencoba mengeksplorasi suara-suara "ekstrinsik" konteks fiksi Indonesia 1980-1995 berhadapan dengan konteks historis sejarah sosial Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru. Hal yang diharapkan akan sangat membedakan dengan kajian ini adalah, pertama, bahwa Allen bertindak sebagai pembaca dari luar Indonesia yang berangkat dari asumsi bahwa fiksi Indonesia secara signifikan merupakan respons penting terhadap berbagai fenomena ekstriksik penciptaan fiksi. Kedua, bahwa pendekatan yang dipakai dalam menganalisis novel berbeda, yakni bahwa kajian ini justru menempatkan novel (fiksi) sebagai strategi wacana naratif (politik cerita), sebagai siasat politis berhadapan dengan kontrol negara yang demikian ketat terhadap semua aspek kehidupan kultural dan kesusastraan Indonesia.
           
            Berdasarkan objek material kajian, terdapat sejumlah kajian yang secara langsung atau tidak mengkaji fenomena sastra dan pengarang Jawa, tetapi kajian-kajian itu berdasarkan teks-teks sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa, sebutlah antara lain kajian-kajian Hutomo (1975), Rass (1985), Quin (1995), dan Damono (2000). Para pakar tersebut mengkaji terutama dalam perspektif sosiologi, kecuali Quin yang mempraktikkan teori semiotik dan wacana. Akan tetapi, sebagai fenomena dan teks kesastraan antara teks berbahasa Jawa yang dijadikan kajian oleh para peneliti tersebut, dan teks sastra berbahasa Indonesia dalam kajian ini, tentu saja sudah memperlihatkan sesuatu yang berbeda. Dapat disimpulkan, pengarang sastra berbahasa Jawa pada masalah-masalah mistisisme Jawa cukup tinggi. Akan tetapi, seperti disinyalir oleh J.J. Rass (1985), kualitas sastra Jawa modern dapat dikatakan rendah.
           
            Soemargono (1983) mengkaji kelompok pengarang Yogyakarta tahun 1945-1960. Soemargono berdasarkan tujuh orang sastrawan Yogya yang berkiprah pada kurun waktu tersebut berdasarkan tinjauan sosiologi dengan melihat pengaruh latar penciptaan pengarang terhadap karya-karya pengarang tersebut dan kecenderungan tekstual dan sembolisnya.

            Dalam perspektif yang lebih umum, Mulder (1985), dengan pendekatan antropologi, pernah membicarakan kecenderungan pengarang Jawa yang menulis fiksi dalam bahasa Indonesia. Menurut Mulder pengarang Jawa pada akhir 1970-an hingga 1980-an awal secara umum memberikan kecenderungan pada mistik (Jawa) yang cukup kental. Hal ini tampak pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Diponogoro, Umar Kayam, Harijadi S. Hartowardojo, Mangunwijaya, Darmanto Jatman, Kuntowijoyo, Linus Suryadi AG, Danarto, dan beberapa yang lain. Referensi pengarang tersebut pada umumnya berkisar pada cerita dan mistisisme wayang.

            Akan tetapi, kesimpulan itu tidak cukup memadai mengingat Soemargono dan Mulder tidak secara spesifik menjelaskan kemungkinan pilihan dan wacana mistisisme wayang sebagai strategi wacana berhadapan dengan situasi sosial politik yang berpengaruh pada waktu itu. Kajian itu lebih sebagai upaya identifikasi pemaknaan secara intrinsik terhadap intensi-intensi pengarang.

            Demikian beberapa catataan tentang perkembangan kajian sastra modern Indonesia.

Daftar Pustaka

Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi (Re)Interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Anderson, B.R.O'G. 1984. "Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Budaya Jawa", dalam Miriam Budiardjo. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Anderson. Benedict R.O'.G.. 1996. "Sembah-Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa", dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (eds.). Bahasa dan Kekuasaan. Bandung: Mizan.
Budiman, Arief. 1985. "Sastra yang Berpublik", dalam Ariel Heryanto. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual, Jakarta: Rajawali Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Damono, Sapardi Djoko. 1988. "Puisi Kita Kini", dalam Prisma, Jakarta, No. 8 Tahun XVII.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta: Bentang.
Darma, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Emmerson, Donald K. 1978. "The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strenght", dalam Karl D. Jackson dan Lucian W. Pye. Political Power and Communications in Indonesia. Berkeley: University of Calofornia Press.
Eneste, Pamusuk. 1982. Novel-Novel dan Cerpen-Cerpen Indonesia Tahun 70- an. Ende: Nusa Indah.
Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press.
Faruk. 2002. Tradisi Novel-Novel Balai Pustaka 1920-1942. Yogyakarta: Gama Media 
Florida, Nancy K. 1995. Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Durham: Duke Univerisity Press.
Foucault, Michel. 1977. The Order of Things. An Archeology of the Human Sciences. London: Tavistock Publication Ltd.
Foucault, Michel. 1987. "The Order of Discourse", dalam Robert Young, Untying The Text: A Post-Structuralist Reader. London and New York: Routledge and Kegan Paul.
Foulcher, Keit. 1988. "Roda yang Terus Berputar: Beberapa Aspek Perkembangan Sastra Sejak 1965", dalam Prisma, Jakarta, No. 8 Tahun XVII.
Foulcher, Keit. 1991 (1980). Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti Pasaka.
Haridas, Swami Anand. 1986. Sastra Indonesia Terlibat atau Tidak?. Yogya karta: Kanisius.
Haryanto, Ignatius. 1999. Kejahatan Negara Telaah Tentang Penerapan Delik Keamanan Negara. Jakarta: ELSAM.
Hellwig, Tineke. 1994. In The Shadow of Change Images of Women in Indonesia Literature. Certer for Southeast Asia Studies: University of California.
Heryanto, Ariel (ed.). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Press.
Heryanto, Ariel. 1988.  "Masihkah Politik Jadi Panglima", dalam Prisma, Jakarta, No. 8 Tahun XVII.
Jassin, H.B.. 1968. Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.
Jassin, H.B.. 1985/1952. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985a/1954. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II. Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985b/1962. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei III. Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985c/1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei IV. Jakarta Gramedia.
Junus, Umar. 1960. "Istilah dan Masa Waktu 'Sastra Melayu' dan Sastra Indsonesia", dalam Medan Ilmu Pengetahuan Th. 1. No. 3. Djakarta. 3 Djuli 1960. h. 245-250.
Junus, Umar. 1974. Perkembangan Novel-Novel Indonesia. Kuala Lumpur: University Malaya.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta Gramedia.
Kayam, Umar. 1988. "Memahami Roman Indsonesia Modern Sebagai Pencerminan dan Ekspresi Masyarakat dan Budaya Indonesia Suatu Refleksi, dalam Mursal Esten (ed.). Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa.
Mohamad, Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mulder, Neils. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nursinah, S.. 1969. Kesusastraan Indonesia (Cet. III). Jakarta: Tunas Mekar Murni.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1967. "Penggolongan Angkatan dan Angkatan 66 dalam Sastra", dalam Horison No. 6. Th. II, Juni.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Klaten: Dwi Dharma.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1996. "Puisi Yogya Sejak Tahun 1980", dalam Agus Noor dan Hamdy Salad (eds.). Histeria Kritik Sastra. Yogyakarta: Bentang.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Quinn, George. 1995. Novel Berbahasa Jawa. Leiden: KITLV Press.
Rass, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: Graffiti-Pers.
Raziz. http://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/selectedworks/ B- Liar1.html
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakata: Juxtapose.
Rosidi, Ajib. 1964. Kapankan Kesusastraan Indonesia Lahir?. Djakarta: Bharata.
Rosidi, Ajib. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Rosidi, Ajip. 1973. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia. Djakarta: Pustaka Jaya.
Sastrawardoyo, Subagio. 1980. Sosok Pribadi dalam Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sayuti, Suminto A.. 2000. Berkenanal dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Siregar, Bakri. 1964. Sejarah Sastra Indonesia I. Jakarta: Akademi Bahasa dan Sastra "Multatuli".
Soekito, Wiratmo. 1984. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Arus.
Soemargono, Farida. 1983. "Kelompok Pengarang Yogya 1945-1960: Dunia Jawa dalam Kesusastraan Indonesia", dalam Citra Masyarakat Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Sumardjo, Jakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Sumardjo, Jakob. 1981. Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Sumardjo, Jakob. 1982. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Teeuw, A. 1955. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru I. Jakarta: Pembangunan.
Teeuw, A. 1958. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru II. Jakarta: Pembangunan.
Teeuw, A. 1967. Modern Indonesia Literature. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A. 1979. Modern Indonesian Literature Vol. II. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Thompson, John B. 1985. Studies in the Theory of Ideology. Berkeley, Los Angeles: University of California Press.
Toda, Dami N.. 1984. Hamba-Hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan.
Toer, Pramoedya Ananta. 1982. Tempo Doeloe. Jakarta: Hasta Mitra.
Usman, Zuber. 1957. Kesusastraan Baru Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
Watson, C.W.. 1972. The Sociology of the Indonesian Novel 1920-1955. a thesis submitted for the degree of master of arts, University of Hull, unpublished.
Watt, Ian. 1968. The Rise of the Novel. Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin Books Limited.


[1] Makalah untuk Seminar “Memperdebatkan Kritik Sastra” di Fakultas Ilmu Budaya FIB, Universitas Airlangga, Surabaya, 12 November 2008.
[2] Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
[3] Hal tersebut tampak dalam tulisan-tulisan Jassin (1968, 1985/1952, 1985a/1954, 1985b/1962, 1985c/1967), Teeuw (1955, 1958, 1967), Usman (1957), B. Siregar (1964), Junus (1960, 1974, 1981, 1983), Rosidi (1964, 1969, 1973), Nursinah (1969), Sumardjo (1979, 1981, 1983), Toda (1984), Eneste (1982), Watson (1972), Pradopo (1967, 1988, 1995), Damono (1983), Sastrowardoyo (1980, 1989), Toda (1984), Soekito (1984), Haridas (Aveling) (1986), Heryanto (1988), Foulcher (1988, 1991/1980), Mohamad (1993), Hellwig (1994), Faruk (2002/1994), Nurgiyantoro (1995), Darma (1995), Sayuti (2000), dan sebagainya. Berdasarkan perspektif teoretis, tulisan-tulisan di atas dapat dibagi ke dalam tiga kecenderungan. Pertama, walaupun tidak dipaparkan secara eksplisit, yaitu tulisan-tulisan dengan mencampurkan kesan subjektif dan teori struktural seperti tampak pada tulisan Jassin (1968, 1985, 1985a, 1986b, 1985c), Rosidi (1984, 1969), Usman (1957), Eneste (1982), Nursinah (1969), dan B. Siregar (1964). Kedua, tulisan yang secara cukup konsisten berangkat dari kerangka teori struktural seperti tampak pada tulisan Teeuw (awal) (1955, 1958, 1967), Pradopo (1967, 1988, 1995), Nurgiyantoro (1995), Sayuti (2000), dan Junus (1960, 1974). Ketiga, tulisan dengan perspektif dan teori sosiologi (dan politik) seperti tampak pada tulisan Sumardjo (1979, 1981, 1983), Soekito (1984), Junus (1983), Mahamad (1993), Heryanto (1988), Watson (1972), Haridas (Aveling) (1986), Foulcher (1988, 1991)), Hellwig (1994), dan Faruk (1994).

[4]  Pengarang lain yang dicatat Farida Soemargono, dengan kecenderungan lain adalah Nasjah Jamin dan Motinggo Busye. Kedua pengarang tersebut berasal dari Sumatra.