MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI
KAJIAN SASTRA MODERN INDONESIA
Cerita fiksi adalah sebuah
wacana karena ditulis dengan maksud dan tujuan tertentu, dikemas dengan cara
dan dalam cara bercerita tertentu. Namun demikian, sebebas apapun ruang yang
disediakan oleh fiksi, kehadirannya tidak membebaskan cerita dari suatu konteks
wacana dan kesejarahannya.
Fiksi hadir berkat dan dalam satu konteks pengaturan
wacana (historis) sehingga setiap konteks wacana melahirkan cerita fiksi yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu berkaitan dengan tema,
gaya penceritaan, penokohan, latar penceritaan, sudut pandang penceritaan, dan
sebagainya. Siti Nurbaya dan Azab dan Sengsara hadir sesuai dengan
konteks historis yang melingkunginya, pada tahun-tahun 1920-an, satu
kontektualisasi yang kemudian disebut sebagai periode Balai Pustaka. Demikian
pula halnya dengan cerita-cerita fiksi pada tahun 1980-an, muncul karena adanya
tuntutan keadaan pada waktu-waktu itu.
Dalam
konteks sosial-politik tahun-tahun 1980-an dan hingga 1990-an, saat kekuasaan
Orde Baru berada dalam posisi yang hegemonik, kesusastraan di Indonesia
mengalami kegairahan dengan munculnya sejumlah novel dengan nuansa Jawa, atau
paling tidak novel yang ditulis oleh orang Jawa dalam bahasa Indonesia, suatu
hal yang secara mudah dapat diketahui oleh mereka pembaca awam.
Fenomena
tersebut terbukti dengan munculnya sejumlah novel berbahasa Indonesia yang
ditulis pengarang Jawa seperti akan dibicarakan kemudian. Kegairahan tersebut
dapat ditafsirkan dalam berbagai cara dan tidak semata-mata dianggap sebagai
bentuk resistensi dari sekelompok masyarakat, utamanya para sastrawan, terhadap
kekuasaan Orde Baru. Paling tidak kegairahan novel berwarna lokal dengan
variabel wacana (cerita) yang dimobilisasi dalam novel tersebut, memberi
perimbangan wacana, sebagai siasat tekstual, terhadap dinamika dalam formasi
kultural dan politik, ataupun secara internal terhadap kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Kompleksitas
permasalahan yang meliputi hal-hal tersebut tentulah cukup beragam dan sangat
mungkin perspektif analisis tertentu memberikan analisis yang berbeda terhadap
kecenderungan umum, baik pada tingkat kategori maupun variabel-variabel lain
yang ikut mempengaruhi analisis tersebut. Latar politis tersebut secara
keseluruhan dianggap berpengaruh terhadap dinamika dan perkembangan
kesusastraan Indonesia.
Pilihan
terhadap rentang tahun-tahun tersebut merupakan pilihan yang dianggap
strategis. Pertama, tahun-tahun
tersebut merupakan tahun-tahun ketika pemerintahan Orde Baru berposisi sangat kuat berhadapan dengan
masyarakat. Rezim Orde Baru memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengontrol
sepak terjang dan segala prilaku masyarakat, bahkan hingga tingkat tertentu
negara mampu mengontrol atau mengatur daya imajinasi para penulis sastra.
Pilihan tersebut sekaligus menempatkan karya sastra sebagai sesuatu yang hadir
berkat dan di dalam lingkungan sosial-politiknya.
Kedua, pada tahun-tahun tersebut sastra novel mengalami kegairahan dengan
munculnya sejumlah novel yang menarik perhatian masyarakat. Memang,
kecenderungan itu, yang kemudian disebut dengan merebaknya “warna lokal” secara
relatif muncul dari beberapa lokal di Indonesia, Akan tetapi, dominasi novel
dengan sensivitas lokal Jawa dianggap mendominasi kesusastraan Indonesia.
Sesuai
dengan karakternya, secara imajinatif novel memiliki kemampuan yang luas dalam
menceritakan seluk beluk kehidupan sosial (masyarakat) sehingga dalam hal ini
novel ditempatkan sebagai cermin masyarakat, dan realitas fiksi secara
signifikan dapat diacukan pada realitas atau peristiwa sosial-politik dalam
masyarakat. Dengan demikian, pembicaraan tidak hanya mengeksplorasi sesuatu
yang bersifat endoforis, dunia internal yang dibangun di dalam novel, kajian
ini merefleksikannya pada sesuatu yang eksoforis, yakni suatu kajian yang
mengaitkannya dengan dunia eksternal di luar dunia yang dibangun oleh
fiksi.
Ketiga, berkaitan dengan hal pertama dan kedua, kajian ini memfokuskan kajiannya
pada aspek dan dimensi sosial-politik fiksi. Pilihan terhadap persoalan itu
berkaitan dengan kondisi-kondisi dalam masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa.
Paling tidak terdapat dua keadaan pada tahun-tahun tersebut.
(1)
Dalam cara yang sangat
terkontrol pemerintahan Orde Baru cukup sukses dalam membangun perekonomian
Indonesia. Berkat kesuksesan tersebut Indonesia mengalami perubahan sosial yang
deras dalam segala sisi-sisi kehidupan. Indonesia memasuki satu fase yang
disebut masyarakat modern dan rasional. Perubahan sosial tersebut melahirkan
keretakan, kegelisahan, kegagapan, dan kemiskinan pada sekelompok masyarakat
yang tidak siap dalam menghadapi perubahan tersebut. Akan tetapi, sebaliknya,
mendatangkan kemudahan, kesenangan, dan peluang-peluang ekonomi dan politik
bagi sekelompk kecil masyarakat.
(2)
Keadaan lain yang juga
sangat dirasakan adalah mulai menumpuknya kekecewaan masyarakat kepada
pemerintahan Orde Baru dalam membangun dan menjalankan kehidupan politik
nasional, yang secara luas berimplikasi pada kehidupan sosial-politik lokal.
Kekecewaan-kekecewaan tersebut turutama menumpuk dikarenakan kehidupan
demokrasi yang dipasung, kesewenang-wenangan merajalela, sebagian besar
kebenaran hukum tidak berjalan, dan sebagainya.
Terdapat tiga latar lain
yang penting mengapa politik cerita dengan nuansa lokal Jawa novel-novel tahun
1980-an hingga 1990-an menjadi penting untuk dikaji.
(1) Pada awal pertumbuhan
kesusastraan Indonesia, tepatnya pada periode Balai Pustaka, kesusastraan
Indonesia didominasi oleh pengarang-pengarang Sumatra (Barat). Hal itu dapat
dimaklumi mengingat pengarang Jawa, pada waktu itu, masih mengalami
"keterbatasan kebiasaan" dalam mengemukakan gagasan atau cerita dalam
bahasa Indonesia (Melayu). Pada awalnya, terdapat sejumlah pengarang Jawa yang
sudah mulai menulis prosa (novel) dalam bahasa Indonesia, katakanlah
karya-karya Tirtoadhisoerjo dan Marco Kartodikromo. Karya kedua sastrawan
tersebut mendapat respons keras dari pemerintah kolonial dan menganggap karya
tersebut sebagai "bacaan liar."
Dalam sejarah Orde Baru,
dengan cara yang lebih keras, kekuasaan Orde Baru bahkan melarang sejumlah buku
sastra beredar, terutama karya-karya Ananta Toer (lihat Haryanto, 1999,
khususnya hlm, 98-99), atau bagaimana ketakutan pemerintah terhadap Wiji
Thukul, dan sejumlah sastrawan lainnya yang mendapat cegah tangkal. Peristiwa
itu membenarkan dugaan Foucault bahwa karya sastra telah memulihkan kembali
bahasa dari sekadar tatabahasa menjadi kuasa tutur yang transparan, makhluk
yang tidak terjinakkan, dan penuh kuasa (Foucault, 1977: 300). Akan tetapi,
yang ingin ditegaskan adalah bahwa secara kuantitatif pada waktu keberadaan
pengarang Jawa tidak sedominan pengarang Sumatra Barat. Itu pula sebabnya,
kajian-kajian pada periode tersebut sebagian besar membicarakan novel-novel yang
ditulis oleh pengarang Sumatra (Barat).
(2) Kajian-kajian
kesusastraan sebagai dan dalam fenomena ataupun perspektif politik cerita masih
dirasakan minimal. Seperti telah disinggung, ada beberapa situasi yang
berpengaruh terhadap kajian kesusastraan pada waktu itu, dan dalam beberapa hal
masih dapat dirasakan hingga waktu-waktu kemudian. Di antaranya, pertama,
situasi teori dan kritik kesusastraan itu sendiri. Sebagai mana diketahui,
teori dan kritik sastra di Indonesia, khususnya sebelum tahun 1980-an, belum
memberikan bentuk yang cukup kokoh sebagai satu tradisi kritis dalam kajian
kesusastraan Indonesia. Itu pula sebabnya, tidak mengherankan, terdapat
sejumlah kerancuan dalam melihat fenomena perkembangan dan dinamika
kesusastraan Indonesia. Kerancuan tersebut terdapat pada pencampuran
kesan-kesan subjektif yang berpretensi besar untuk menghakimi dan menilai mutu
karya sastra berhadapan dengan tuntutan objektif teori sastra struktural
objektif yang pada waktu itu mendominasi teori dan kritik sastra Indonesia.
Analisis terhadap situasi itu secara cukup komprehensif dapat dilihat dalam
Pradopo (2003).
(3) Sejumlah pembicaraan
tentang perkembangan dan dinamika kesusastraan Indonesia menempatkan objek
kajian kesusastraan sebagai representasi kesusastraan Indonesia, dengan
mengabaikan perspektif lokalisasi budaya tertentu dan mengabaikan keunikan
sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia. Setiap novel yang hadir merupakan
representasi dari ke-Indonesia-an. Padahal, dalam praktiknya, setiap masyarakat
mengalami lokalisasi dan pengalaman yang berbeda-beda, sesuai dengan
praktik-praktik budaya yang dihadapi sehari-hari, misalnya saja dalam hal
melihat dan merespons hal-hal yang berkaitan dengan makna perubahan sosial. Hal
ini, tidak hanya memperlihatkan dominasi perspektif teori sastra yang sedang
berkembang pada waktu itu, tetapi kontrol dan tuntutan wacana yang diproduksi
dan direproduksi negara untuk menafikan lokal-lokal sebagai perbedaan tampaknya
cukup dirasakan.
Kondisi lain yang ikut
menentukan tradisi kajian sastra Indonesia pada waktu itu adalah situasi
sosial-politik. Pembicaraan tentang kesusastraan Indonesia pada masa sebelum
kemerdekaan, secara umum disemangati oleh cita-cita nasional berbangsa satu
bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, dan dan menjunjung
tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Semangat berbangsa satu, bertanah air
satu, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia tersebut masih terbawa-bawa hingga
setelah periode kemerdekaan. Itu pula sebabnya, karya sastra yang berbahasa
Indonesia secara otomatis adalah representasi Indonesia, dengan mengabaikan
kemungkinan bahwa setiap karya sastra memberikan wacana tersendiri yang khas
pada dirinya, semisal jika karya tersebut ditulis oleh orang Jawa, pastilah
berbeda dengan karya sastra yang ditulis oleh orang Minang, orang Dayak,
walaupun sama-sama dalam bahasa Indonesia.
Akan tetapi, perlu diakui
bahwa kajian ini tidak berpretensi membandingkan "suara-suara lokal"
yang berbeda-beda antara satu praktik budaya dengan budaya lain dalam
masyarakat Indonesia. Kajian ini berpretensi berdasarkan asumsi teoretis bahwa
pengalaman sosial dan budaya, juga pengalaman inklusif terhadap karya sastra,
selayaknya dipandang sebagai keunikan yang perlu diakui sebagai perbedaan-perbedaan.
Perbedaan tersebut meliputi pengalaman berbahasa (Indonesia), tradisi
seni-sastra, dan sejumlah peristiwa sosial dan politik, dengan intensitas dan
kualitas tertentu, tidak dapat disamakan begitu saja antara satu wilayah budaya
dengan wilayah budaya yang lain. Artinya, seperti telah disinggung, kajian ini
secara langsung telah menyarankan bahwa karya sastra yang akan dibicarakan
adalah karya sastra (novel) yang ditulis orang Jawa.
Namun, perlu dijelaskan
bahwa hadirnya istilah orang Jawa tidak dimaksudkan sebagai substansi kajian.
Penjelasan tersebut dilihat sebagai satu pembatasan masalah belaka. Paling
tidak asumsi tersebut didukung karena Jawa, dan khususnya Jawa Tengah dan
Yogyakarta, adalah satu wilayah sosial, kultural yang berbeda dibanding wilayah
mana pun di Indonesia. Perbedaan utama yang dilihat lebih dalam dinamika
perkembangan wacana-wacana sosial, politik, dan kebudayaan.
Dalam sejarah sosial dan
politik Jawa merupakan salah satu tempat kegiatan politik dan pendidikan yang
penting. Di samping jumlah penduduk Jawa yang meliputi lebih kurang 60 persen
dari jumlah penduduk Indonesia, peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan
dengan proses-proses perjuangan menuju nasional Indonesia banyak terjadi di
Jawa (Ricklefs, 1998). Informasi ringkas tersebut hanya ingin mengatakan sejauh
mana dinamika dan peran intelektual, kultural, dan politik yang pernah
dimainkan oleh orang (pengarang) Jawa, baik pada tingkat individual maupun
masyarakat.
Sejauh yang dapat dicatat,
pengarang Jawa, dalam rentang waktu yang cukup panjang, telah memberikan
sumbangan yang cukup penting bagi khazanah sastra modern Indonesia. Hal itu
dapat diketahui dari banyaknya sastrawan dan penyair yang bermunculan di Jawa,
terutama setelah 1960-an, dan lebih khusus setelah 1970-an, dan telah ikut
meramaikan khazanah sastra Indonesia. Fokus kajian disertasi ini adalah
mengkaji kontribusi pengarang Jawa berbahasa Indonesia dalam relasi dan
lingkaran kekuasaan Orde Baru.
Dalam penjelasan lain,
para pengarang ketika menulis sebuah karya sastra, khususnya prosa novel,
mencoba mewacanakan sesuatu yang disampaikan dalam narari-narasi cerita. Hadir
atau munculnya sebuah teks sastra, merupakan hasil dari sebuah proses panjang,
rumit, dan kompleks. Proses tersebut melibatkan berbagai aspek, yang setiap
aspeknya merupakan satu variabel yang jalin menjalin, jaring-menjaring dengan
berbagai aspek lain hingga dalam batas-batas tertentu penting untuk
diinterpretasikan lebih jauh. Aspek-aspek yang perlu diperhitungkan antara lain
konteks wacana yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, situasi-situasi
dan kondisi yang mendeterminasi penulisan teks sastra (baik lokal, nasional,
ataupun global), dan mekanisme dan apresisasi terhadap wacana yang dimobilisasi
oleh negara.
Sejumlah kajian kesusastraan
setelah kemerdekaan, terbagi ke dalam tiga kecenderungan. Pada awalnya,
semangat nasionalisme dan eforia kemerdekaan tampaknya mendominasi ulasan. Hal
tersebut tampak pada tulisan-tulisan Rosidi (1964, 1969) dan Jassin (1968,
1985, 1985a, 1985b, 1985c). Akan tetapi, kedua, pada tahun 1960-an wacana
pembicaraan kesusastraan bergeser dalam perspektif politik dan ideologi yang
berpuncak pada perseteruan Kelompok LEKRA dan Manifes Kebudayaan. Di satu pihak
yang pertama mencoba mendayagunakan kesusastraan sebagai alat perjuangan
politik, dan hal kelompok kedua adalah mecoba mewacanakan seni atau sastra
sebagai alat perjuangan humanisme universal.
Ujung dari perdebatan
tersebut sangat ditentukan oleh kondisi makro politik Indonesia dengan
kemenangan Orde Baru sehingga LEKRA yang berafiliasi pada politik Soekarno
(pemimpin Orde Lama) secara relatif terpendam atau terkubur. Seperti diketahui,
wacana makro politik Indonesia yang dibangun Orde Baru tidak jauh bergeser dari
kecenderungan "politik adalah panglima", sehingga wacana kritisisme
sastra Indonesia seperti memiliki keengganan, atau bahkan semacam trauma, untuk
merelasikan secara bermakna antara dimensi-dimensi kesusastraan dengan
persoalan-persoalan politik.
Dalam perkembangan lebih
lanjut, sejumlah kajian telah memperlihatkan kecenderungan sosiologis dan
politis seperti tampak pada kajian Watson (1972), Junus (1974), Foulcher
(1991/1980), Anderson (1996), Faruk (2003/1994), Hellwig (1994), dan Allen
(2004). Watson (1972), misalnya, mengkaji novel-novel Indonesia tahun 1920
hingga 1955 dalam kerangka Lukacs dan Goldmann. Kajian Watson termasuk yang
cukup komprehensif, walaupun tidak berpretensi atau tidak menempatkan
kompleksitas varibel-veriabel kultural yang berbeda-beda dalam masyarakat Indonesia
sebagai sesuatu yang memberikan keunikan.
Junus (1974) membicarakan
perkembangan novel-novel Indonesia juga dalam kerangka teori
strukturalisme-genetik Goldmann dengan beberapa reduksi sehingga yang
tertangkap justru aspek formal karya sastra. Foulcher (1991/1980) termasuk
pengkaji yang ketat dalam membahas materi formal kajiannya, walaupun tidak
secara eksplisit mendeskripsikan kerangka teorinya, pembatasan masalah hubungan
dan perkembangan nasionalitas dalam karya sastra periode Pujangga Baru, tulisan
Foulcher memberikan informasi yang menarik berkaitan dengan hubungan sosial dan
ideologis antara Pujangga Baru dengan gerakan-gerakan nasionalis dan
nasionalisme Indonesia.
Kajian Foulcher (1988)
melihat kecenderungan umum sejumlah karya sastra Indonesia setelah setelah 1965 tanpa membedakan konteks asal
usul pengarang. Kajian Foulcher melihat fenomena dan dimensi politis dan
simbolis karya-karya Danarto, Bachri, Rendra, dan persoalan sastra kontekstual
sebagai peristiwa nasional sastra dalam tekanan politik Orde Baru. Dalam
kerangka analisisnya, Foulcher tidak melihat kekhususan-kekhususan per karya,
dalam dimensi dan kondisi yang berbeda, sehingga tidak mempersoalkan
kemungkinan bahwa setiap wilayah geo-kultural di Indonesia, dalam derajat dan intensitas
yang berbeda, memberikan muatan signifikasi yang berbeda-beda pula terhadap
berbagai kecenderungan yang sedang terjadi. Secara gamblang hal tersebut
diperlihatkan dalam sejarah politik, ekonomi, dan kultural di Indonesia, bahwa
perilaku politik dan kondisi-kondisi material atas dominasi dan hegemoni negara
terhadap masyarakat, mulai dari zaman pemerintah kolonial hingga pemerintah
Orde Baru, antara di Sumatra dan Jawa misalnya, secara praksis terdapat
perbedaan yang cukup substansial.
Dalam sebuah kajiannya,
Faruk (2003/1994) membahas tradisi (genesis) novel-novel Balai Pustaka
(1920-1942) secara semiotik dan sosiologis, juga dalam asumsi bahwa tradisi
Balai Pustaka sebagai tradisi penulisan novel awal Indonesia. Seperti
kecenderungan besar lainnya, Faruk tidak membicarakan dan mempersoalkan mengapa
pada waktu itu sebagian sastrawan dan dan novel ditulis oleh orang Sumatra
Barat. Kajian ini terutama mengkaji dan mencari, dalam perspektif Goldmann,
pandangan dunia pengarang-pengarang yang disebut dengan tradisi Balai Pustaka,
bertradisikan romantisisme.
Walaupun Faruk telah
melepaskan dirinya dari dominasi teori sastra struktural objektif, pilihan
masalah dan kerangka teori yang dipakai Faruk tidak bermaksud menjelaskan
proses-proses kehadiran sebuah karya sastra sebagai hasil proses internal
kedaerahan masing-masing. Sementara itu, Hellwig (1994) dalam kerangka teori
sosiologi-feminis tetap terperangkap untuk memukul rata citra wanita Indonesia
dalam sejumlah novel Indonesia, tanpa upaya mengklarifikasi perbedaan-perbedaan
kultural yang secara signifikan membedakan citra tersebut untuk setiap
lokal-lokal kebudayaan. Satu hal yang perlu dicatat, kajian-kajian yang
disinggung di atas, membuka peluang untuk melihat jalinan-jalinan lokalisasi
kultural sebagai bagian penting produksi teks sastra.
Arah untuk mengkaji
aspek-aspek yang lebih spesifik berkaitan dengan lokalisasi budaya tertentu,
berkaitan dengan dan dalam konstelasi politik nasional bukan berarti sama
sekali tidak ada. Pada tahun 1980-an, dan khususnya pada tahun 1990-an,
semangat dan perkembangan teoretis kajian kesusastraan Indonesia semakin
beragam dan kompleks. Pada tahun 1984-1985, sebagai akibat pengaruh relativitas
keilmuan, muncul upaya teoretis dan kontekstualisasi karya sastra. Isu ini
secara hampir bersama-sama dipelopori oleh Budiman (1984) dan Heryanto (1985),
dengan upaya teoretisasi sastra kontekstual. Dalam kenyataannya, kajian sastra
kontekstual mendapat sanggahan dari berbagai pihak (Foulcher, 1988: 26-27.
Perdebatan tersebut berhenti di tengah jalan, dan tidak lebih menjadi satu
tahap historis dari kompleksitas situasi sastra Indonesia.
Tahap sastra kontekstual
secara simultan diikuti oleh perdebatan (seminar) mengenai teori dan kritik
sastra dengan perhatian pada kehadiran warna lokal, dan pada tahun 1987,
Fakultas Sastra UGM menyelenggarakan seminar tersebut. Walaupun dalam beberapa
hal seminar tersebut membuahkan beberapa pemikiran tentang makna kehadiran
unsur lokal dalam karya sastra, tetapi dalam banyak hal yang lain, seminar itu
tidak memfokuskan dirinya pada satu kajian lokal tertentu sehingga kerangka
nasional masih mendominasi gagasan-gagasan yang muncul dalam seminar
tersebut.
Pada tahun berikutnya,
1988, sebagai kelanjutan dari kegiatan akademis tersebut, di Padang
diselenggarakan seminar mengenai teori dan kritik Indonesia yang relevan. Perdebatan tersebut merupakan upaya lebih
"membumikan" teori dan kritik sastra Indonesia, dan sebagai
implikasinya diharapkan menjadi lebih sesuai jika dipraktikan dan berhadapan
dengan karya sastra Indonesia. Dari sejumlah makalah yang dieditori Esten dalam
Menjelang Teori dan Kritik Susastra
Indonesia yang Relevan (1988), terdapat makalah Umar Kayam yang secara
spesifik berbicara tentang "keterbatasan" pengarang Jawa menulis
novel dalam bahasa Melayu (Indonesia).
"Pada waktu para penulis susastra mulai menulis dalam bahasa
Indonesia, jelas betul mereka yang datang dari kawasan budaya Melayu memimpin
perkembangan baru tersebut. Baik pada penulis Balai Poestaka maupun Poejangga
Baroe adalah "orang Soematra" yang berbahasa ibu Melayu. Dalam
kelompok Poejangga Baroe, misalnya, hanya ada seorang Jawa yang menulis dalam
bahasa Melayu tinggi, yaitu Soetomo Djauhar Arifin yang menghasilkan roman Andang Taruna. ... Perbandingan tersebut
dapat dipahami apabila diingat bahwa di kawasan budaya seperti Sunda, Jawa, dan
Bali, misalnya, suatu tradisi susastra dalam bahasa kawasan telah hadir dalam
kurun waktu yang panjang, bahkan sudah mengakar sebagai suatu tradisi.
..." (1988: 119-120).
Dugaan Kayam tentu sangat
beralasan. Sebelum tahun 1950-an, secara internal kesastraan, berdasarkan
kajian Hutomo (1975), Quinn (1992), ataupun Damono (2000), pengarang Jawa
sebagian besar masih menulis dalam bahasa Jawa (Bdk. dengan M.C. Ricklefs,
1998: 80-81). Dari karya para peneliti tersebut dapat disimpulkan bahwa
perhatian pengarang sastra berbahasa Jawa pada masalah-masalah mistisisme Jawa
cukup tinggi.
Akan tetapi, seperti
disinyalir oleh J.J. Rass (1985), kualitas sastra Jawa modern dapat dikatakan
rendah. Banyak pengarang Jawa yang berbakat pada masa-masa setelah 1950-an, dan
terutama 1960-an mulai menulis dalam bahasa Indonesia. Mereka yang mulai
menulis pada tahun 1950-an, seperti Sri Murtono, Rendra, Umar Kayam, D.
Suradji, Subagio Sastrowardoyo, Kirjomulyo, tampak memberikan kecenderungan
mistik Jawa terutama dengan referensi wayang (Soemargono, 1983: 156-179).
Dalam situasi tersebut, suatu kajian yang mencoba mengkaji perkembangan dan
dinamika sastra modern berbahasa Indonesia pada lokal-lokal tertentu menjadi
sangat penting. Akan tetapi, berbeda dengan wacana kesusastraan dalam kerangka
geografi dan nasional Indonesia, sastra modern berbahasa Indonesia yang ditulis
pengarang-pengarang Jawa mulai mengalami kegairahan penting terutama setelah
tahun-tahun 1960-an akhir, dan terutama pada tahun 1980-an.
Di depan disinggung bahwa
ada kemungkinan pengarang Jawa lebih sukar "ditertibkan" oleh negara
(pada masa kolonial), sehingga muncul istilah "bacaan liar". Pada
masa awal sastra Indonesia, bagi kaum pergerakan, bacaan merupakan alat
penyampaian pesan dari orang-orang atau organisasi pergerakan kepada kaum kromo
(rakyat). Ada dua tahapan "proses" bacaan di Hindia Belanda. Pertama,
bacaan yang dicetak oleh orang-orang peranakan Belanda dan Tiong-hoa yang
memiliki rumah cetak dan surat kabar. Teks bacaan yang diproduksi dimulai
dengan terjemahan novel-novel fiksi Eropa, seperti karya Robinson Cruso dan
Jules Vernes, yang masing-masing diterjemahkan oleh F. Wigeers dan Lie Kim Hok.
Kemudian ditambah dengan terjemahan fiksi-fiksi populer di antaranya Hikayat
Sultan Ibrahim, Hikayat Amir Hamzah, dan hikayat Jan Pieterzooncoen.
Cerita-cerita itu disebarkan melalui berbagai surat kabar. Selanjutnya,
bacaan-bacaan ini juga diterbitkan dalam bentuk buku oleh H.C. Klinkert dan
A.F. von de Wall.
Tahap kedua adalah
bacaan-bacaan yang ditulis oleh orang bumiputra pada awal abad ke-20. Yang
menarik dari perkembangan produksi bacaan yang dilahirkan oleh orang-orang
bumiputra adalah penggunaan "Malayu Pasar, yang rupanya mengikuti para
pendahulunya, golongan Indo dan Tionghoa peranakan. Perkembangan produksi
bacaan bumiputra sangat didukung dengan meriapnya industri pers pada awal abad
ke-20.
Dalam hal itu, golongan
bumi putra yang dianggap perintis fiksi modern adalah R.M. Tirtoadhisoerjo,
dengan karyanya Doenia Pertjintaan 101
Tjerita jang soenggoe terjadi di Tanah Priangan, terbit pada tahun 1906.
Kemudian disusul dengan karya lain; Tjerita
Njai Ratna (1909), Busono (1912).
R.M. Tirtoadhisoerjo juga banyak menerbitkan tulisan nonfiksi. Tulisan
Tirtoadhisoerjo mendorong penulis berikutnya, yaitu Marco Kartodikromo, Soeardi
Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen, Darsono, dan sebagainya. Mereka
banyak menghasilkan bacaan-bacaan populer yang terutama ditujukan untuk
mendidik bumiputra yang miskin (kromo). Kejadian itu hanya memperlihatkan bahwa
sejak awal novel Indonesia yang ditulis pengarang Jawa sudah sangat berpretensi
politis (Raziz, 2002. Bdk. dengan Toer, 1982: 1-16).
Sementara itu, Anderson (1996) melihat bahwa pengarang Jawa menulis prosa
dalam bahasa Indonesia, khususnya kajian Anderson terhadap karya sastra
Pramudya Ananta Toer, dilihat sebagai perlawanan internal dan pembebasan
terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa yang mengalami krisis berhadapan dengan
bahasa Indonesia yang didukung oleh negara. Di samping itu, Anderson juga
melihat bahwa konversi pengarang Jawa ke bahasa Indonesia sebagai strategi
untuk merebut pembaca berbahasa Indonesia yang semakin luas. Akan tetapi,
pilihan dan kesukaan Anderson terhadap karya-karya Toer sedikit banyak terasa
agak mencurigakan. Hal tersebut terjadi sebagai sikap perlawanan subjektif
Anderson terhadap kekuasaan Orde Baru yang tidak menyukai Anderson.
Dalam beberapa hal, perlu
diakui bahwa tampaknya kajian Allen (2004) merupakan kajian yang memiliki
kedekatan tertentu dengan kajian yang akan dijelaskan dalam disertasi ini.
Allen, dalam paradigma analisis teori tanggapan-pembaca, estetika resepsi dan
interpretasi-politis, mengkaji karya-karya Ananta Toer, Mangunwijaya, dan Putu
Wijaya. Allen secara luas mencoba mengeksplorasi suara-suara
"ekstrinsik" konteks fiksi Indonesia 1980-1995 berhadapan dengan
konteks historis sejarah sosial Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru. Hal
yang diharapkan akan sangat membedakan dengan kajian ini adalah, pertama, bahwa
Allen bertindak sebagai pembaca dari luar Indonesia yang berangkat dari asumsi
bahwa fiksi Indonesia secara signifikan merupakan respons penting terhadap
berbagai fenomena ekstriksik penciptaan fiksi. Kedua, bahwa pendekatan yang
dipakai dalam menganalisis novel berbeda, yakni bahwa kajian ini justru
menempatkan novel (fiksi) sebagai strategi wacana naratif (politik cerita),
sebagai siasat politis berhadapan dengan kontrol negara yang demikian ketat terhadap
semua aspek kehidupan kultural dan kesusastraan Indonesia.
Berdasarkan objek material
kajian, terdapat sejumlah kajian yang secara langsung atau tidak mengkaji
fenomena sastra dan pengarang Jawa, tetapi kajian-kajian itu berdasarkan
teks-teks sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa, sebutlah antara lain
kajian-kajian Hutomo (1975), Rass (1985), Quin (1995), dan Damono (2000). Para
pakar tersebut mengkaji terutama dalam perspektif sosiologi, kecuali Quin yang
mempraktikkan teori semiotik dan wacana. Akan tetapi, sebagai fenomena dan teks
kesastraan antara teks berbahasa Jawa yang dijadikan kajian oleh para peneliti
tersebut, dan teks sastra berbahasa Indonesia dalam kajian ini, tentu saja
sudah memperlihatkan sesuatu yang berbeda. Dapat disimpulkan, pengarang sastra
berbahasa Jawa pada masalah-masalah mistisisme Jawa cukup tinggi. Akan tetapi,
seperti disinyalir oleh J.J. Rass (1985), kualitas sastra Jawa modern dapat
dikatakan rendah.
Soemargono (1983) mengkaji
kelompok pengarang Yogyakarta tahun 1945-1960. Soemargono berdasarkan tujuh
orang sastrawan Yogya yang berkiprah pada kurun waktu tersebut berdasarkan
tinjauan sosiologi dengan melihat pengaruh latar penciptaan pengarang terhadap
karya-karya pengarang tersebut dan kecenderungan tekstual dan sembolisnya.
Dalam perspektif yang
lebih umum, Mulder (1985), dengan pendekatan antropologi, pernah membicarakan
kecenderungan pengarang Jawa yang menulis fiksi dalam bahasa Indonesia. Menurut
Mulder pengarang Jawa pada akhir 1970-an hingga 1980-an awal secara umum
memberikan kecenderungan pada mistik (Jawa) yang cukup kental. Hal ini tampak
pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Diponogoro, Umar Kayam, Harijadi S.
Hartowardojo, Mangunwijaya, Darmanto Jatman, Kuntowijoyo, Linus Suryadi AG,
Danarto, dan beberapa yang lain. Referensi pengarang tersebut pada umumnya
berkisar pada cerita dan mistisisme wayang.
Akan tetapi, kesimpulan
itu tidak cukup memadai mengingat Soemargono dan Mulder tidak secara spesifik
menjelaskan kemungkinan pilihan dan wacana mistisisme wayang sebagai strategi
wacana berhadapan dengan situasi sosial politik yang berpengaruh pada waktu
itu. Kajian itu lebih sebagai upaya identifikasi pemaknaan secara intrinsik
terhadap intensi-intensi pengarang.
Demikian beberapa catataan
tentang perkembangan kajian sastra modern Indonesia.
Daftar Pustaka
Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan
Membaca Lagi (Re)Interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995. Yogyakarta:
Indonesia Tera.
Anderson, B.R.O'G. 1984. "Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Budaya
Jawa", dalam Miriam Budiardjo. Aneka
Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Anderson. Benedict R.O'.G.. 1996. "Sembah-Sumpah, Politik Bahasa dan
Kebudayaan Jawa", dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (eds.). Bahasa dan Kekuasaan. Bandung: Mizan.
Budiman, Arief. 1985. "Sastra yang Berpublik", dalam Ariel
Heryanto. 1985. Perdebatan Sastra
Kontekstual, Jakarta: Rajawali Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan
Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi
Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Damono, Sapardi Djoko. 1988. "Puisi Kita Kini", dalam Prisma, Jakarta, No. 8 Tahun XVII.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Priayi
Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta: Bentang.
Darma, Budi. 1995. Harmonium.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Emmerson, Donald K. 1978. "The Bureaucracy in Political Context:
Weakness in Strenght", dalam Karl D. Jackson dan Lucian W. Pye. Political Power and Communications in
Indonesia. Berkeley: University of Calofornia Press.
Eneste, Pamusuk. 1982. Novel-Novel
dan Cerpen-Cerpen Indonesia Tahun 70- an. Ende: Nusa Indah.
Fairclough, Norman. 1992. Discourse
and Social Change. Cambridge: Polity Press.
Faruk. 2002. Tradisi Novel-Novel
Balai Pustaka 1920-1942. Yogyakarta: Gama Media
Florida, Nancy K. 1995. Writing the
Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Durham:
Duke Univerisity Press.
Foucault, Michel. 1977. The Order of
Things. An Archeology of the Human Sciences. London: Tavistock Publication
Ltd.
Foucault, Michel. 1987. "The Order of Discourse", dalam Robert
Young, Untying The Text: A
Post-Structuralist Reader. London and New York: Routledge and Kegan Paul.
Foulcher, Keit. 1988. "Roda yang Terus Berputar: Beberapa Aspek
Perkembangan Sastra Sejak 1965", dalam Prisma,
Jakarta, No. 8 Tahun XVII.
Foulcher, Keit. 1991 (1980). Kesusastraan
dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti Pasaka.
Haridas, Swami Anand. 1986. Sastra
Indonesia Terlibat atau Tidak?. Yogya karta: Kanisius.
Haryanto, Ignatius. 1999. Kejahatan
Negara Telaah Tentang Penerapan Delik Keamanan Negara. Jakarta: ELSAM.
Hellwig, Tineke. 1994. In The Shadow
of Change Images of Women in Indonesia Literature. Certer for Southeast
Asia Studies: University of California.
Heryanto, Ariel (ed.). 1985. Perdebatan
Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Press.
Heryanto, Ariel. 1988.
"Masihkah Politik Jadi Panglima", dalam Prisma, Jakarta, No. 8 Tahun XVII.
Jassin, H.B.. 1968. Prosa dan Puisi.
Jakarta: Gunung Agung.
Jassin, H.B.. 1985/1952. Kesusastraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985a/1954. Kesusastraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II. Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985b/1962. Kesusastraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei III. Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985c/1967. Kesusastraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei IV. Jakarta Gramedia.
Junus, Umar. 1960. "Istilah dan Masa Waktu 'Sastra Melayu' dan Sastra
Indsonesia", dalam Medan Ilmu
Pengetahuan Th. 1. No. 3. Djakarta. 3 Djuli 1960. h. 245-250.
Junus, Umar. 1974. Perkembangan
Novel-Novel Indonesia. Kuala Lumpur: University Malaya.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan
Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa ke
Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta Gramedia.
Kayam, Umar. 1988. "Memahami Roman Indsonesia Modern Sebagai
Pencerminan dan Ekspresi Masyarakat dan Budaya Indonesia Suatu Refleksi, dalam
Mursal Esten (ed.). Menjelang Teori dan
Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa.
Mohamad, Goenawan. 1993. Kesusastraan
dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mulder, Neils. 1983. Kebatinan dan
Hidup Sehari-Hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nursinah, S.. 1969. Kesusastraan
Indonesia (Cet. III). Jakarta: Tunas Mekar Murni.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1967. "Penggolongan Angkatan dan Angkatan 66
dalam Sastra", dalam Horison No.
6. Th. II, Juni.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Klaten: Dwi Dharma.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1996. "Puisi Yogya Sejak Tahun 1980",
dalam Agus Noor dan Hamdy Salad (eds.). Histeria
Kritik Sastra. Yogyakarta: Bentang.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik
Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Quinn, George. 1995. Novel Berbahasa
Jawa. Leiden: KITLV Press.
Rass, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra
Jawa Mutakhir. Jakarta: Graffiti-Pers.
Raziz. http://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/selectedworks/ B-
Liar1.html
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial
Postmodern. Yogyakata: Juxtapose.
Rosidi, Ajib. 1964. Kapankan
Kesusastraan Indonesia Lahir?. Djakarta: Bharata.
Rosidi, Ajib. 1969. Ikhtisar Sejarah
Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Rosidi, Ajip. 1973. Masalah Angkatan
dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia. Djakarta: Pustaka Jaya.
Sastrawardoyo, Subagio. 1980. Sosok
Pribadi dalam Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang
Modern Sebagai Manusia Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sayuti, Suminto A.. 2000. Berkenanal
dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Siregar, Bakri. 1964. Sejarah Sastra
Indonesia I. Jakarta: Akademi Bahasa dan Sastra "Multatuli".
Soekito, Wiratmo. 1984. Kesusastraan
dan Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Arus.
Soemargono, Farida. 1983. "Kelompok Pengarang Yogya 1945-1960: Dunia
Jawa dalam Kesusastraan Indonesia", dalam Citra Masyarakat Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Sumardjo, Jakob. 1979. Masyarakat dan
Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Sumardjo, Jakob. 1981. Segi
Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Sumardjo, Jakob. 1982. Novel
Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Teeuw, A. 1955. Pokok dan Tokoh dalam
Kesusastraan Indonesia Baru I. Jakarta: Pembangunan.
Teeuw, A. 1958. Pokok dan Tokoh dalam
Kesusastraan Indonesia Baru II. Jakarta: Pembangunan.
Teeuw, A. 1967. Modern Indonesia
Literature. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A. 1979. Modern Indonesian
Literature Vol. II. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai
Sastra. Jakarta: Gramedia.
Thompson, John B. 1985. Studies in
the Theory of Ideology. Berkeley, Los Angeles: University of California
Press.
Toda, Dami N.. 1984. Hamba-Hamba
Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan.
Toer, Pramoedya Ananta. 1982. Tempo
Doeloe. Jakarta: Hasta Mitra.
Usman, Zuber. 1957. Kesusastraan Baru
Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
Watson, C.W.. 1972. The Sociology of
the Indonesian Novel 1920-1955. a thesis submitted for the degree of master
of arts, University of Hull, unpublished.
Watt, Ian. 1968. The Rise of the Novel.
Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin Books Limited.
Hal
tersebut tampak dalam tulisan-tulisan Jassin (1968, 1985/1952, 1985a/1954,
1985b/1962, 1985c/1967), Teeuw (1955, 1958, 1967), Usman (1957), B. Siregar
(1964), Junus (1960, 1974, 1981, 1983), Rosidi (1964, 1969, 1973), Nursinah (1969),
Sumardjo (1979, 1981, 1983), Toda (1984), Eneste (1982), Watson (1972), Pradopo
(1967, 1988, 1995), Damono (1983), Sastrowardoyo (1980, 1989), Toda (1984),
Soekito (1984), Haridas (Aveling) (1986), Heryanto (1988), Foulcher (1988,
1991/1980), Mohamad (1993), Hellwig (1994), Faruk (2002/1994), Nurgiyantoro
(1995), Darma (1995), Sayuti (2000), dan sebagainya. Berdasarkan perspektif
teoretis, tulisan-tulisan di atas dapat dibagi ke dalam tiga kecenderungan.
Pertama, walaupun tidak dipaparkan secara eksplisit, yaitu tulisan-tulisan
dengan mencampurkan kesan subjektif dan teori struktural seperti tampak pada
tulisan Jassin (1968, 1985, 1985a, 1986b, 1985c), Rosidi (1984, 1969), Usman
(1957), Eneste (1982), Nursinah (1969), dan B. Siregar (1964). Kedua, tulisan
yang secara cukup konsisten berangkat dari kerangka teori struktural seperti
tampak pada tulisan Teeuw (awal) (1955, 1958, 1967), Pradopo (1967, 1988,
1995), Nurgiyantoro (1995), Sayuti (2000), dan Junus (1960, 1974). Ketiga,
tulisan dengan perspektif dan teori sosiologi (dan politik) seperti tampak pada
tulisan Sumardjo (1979, 1981, 1983), Soekito (1984), Junus (1983), Mahamad
(1993), Heryanto (1988), Watson (1972), Haridas (Aveling) (1986), Foulcher
(1988, 1991)), Hellwig (1994), dan Faruk (1994).
Pengarang lain yang dicatat Farida
Soemargono, dengan kecenderungan lain adalah Nasjah Jamin dan Motinggo Busye.
Kedua pengarang tersebut berasal dari Sumatra.