Ramayda Akmal[1]
Aprinus Salam[2]
Abstrak
Tulisan ini mencoba menjelaskan relasi kewacanaan antara
militer, negara, dan karya sastra, khususnya novel di Indonesia. Secara
historis kedudukan militer di negara Indonesia selama beberapa dekade semenjak
kemerdekaan sangatlah kuat. Militer Indonesia tidak hanya berada di ranah
pertahanan, tetapi juga memasuki ranah sipil seperti dunia politik, ekonomi,
dan lain-lain. Militer dipersamakan dengan negara itu sendiri. Berdasarkan
kenyataan ini, melawan atau bertentangan dengan militer berarti melawan negara.
Oleh karena itu, pembicaraan—lebih khusus lagi citra—tentang militer menjadi
sangat penting, diperhatikan, dan dikendalikan
demi menjaga stabilitas negara.
Dalam hal ini, sastrawan
dan karya sastra merupakan salah satu aspek yang perlu dikendalikan.
Pengendalian ini bisa terjadi secara represif ataupun hegemonik, dan militer
memegang peranan utama untuk menjalankan tugas ini. Untuk mengetahui sejauh
mana negara mengambil peran dalam mengendalikan novel-novel khususnya berkaitan
dengan wacana militer di dalamnya, dilakukan penelusuran terhadap novel-novel
Indonesia modern, mulai dari novel yang terbit setelah 1920 hingga novel yang
terbit pasca Orde Baru. Beberapa hal
yang diuraikan dalam penelitian ini adalah narasi dan deskripsi singkat
wacana militer dalam novel-novel tersebut, dan konteks yang melahirkan
wacana-wacana militer di atas. Dengan menggunakan metode semiotis dan analisis
kewacanaan akhirnya dapat ditemukan bahwa wacana militer dalam novel-novel dari
tahun 1920an hingga Orde Baru sangat dikendalikan oleh negara.
Kata Kunci: Militer-Novel-Negara-Indonesia
PENDAHULUAN
Novel merupakan cermin berbagai fenomena sosial.
Namun, karya sastra tidak melukiskan realitas zaman dalam unsur-unsur di
atas secara per se. Realitas
dalam karya sastra adalah gabungan dari realitas dalam konteks sosial budaya
masyarakat dan realitas yang dibayangkan berdasar pada ideologi
penulisnya. Oleh karena itu, pada
hakikatnya karya sastra selalu mengandung berbagai gagasan yang ditanamkan
penulisnya, yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial
tertentu—atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu (Damono, 1979:
2).
Berdasarkan kemungkinan ini,
negara sebagai pihak yang ingin selalu memenangkan kuasa, menganggap bahwa
karya sastra perlu diatur, ditertibkan, dan diselaraskan untuk mendukung kuasa
negara tersebut. Negara menentukan wacana-wacana yang ada dalam karya sastra
untuk mendukung kekuasaannya. Michel Foucault mendefinisikan wacana sebagai
sesuatu yang hadir untuk memproduksi yang lain (gagasan, konsep, atau efek).
Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam
batas-batas yang telah ditentukan. Pernyataan yang diterima dimasukkan dan
mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu objek (Eriyanto, 2001: 73-74).
Ciri utamanya ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang
berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu
masyarakat.
Tulisan ini melihat wacana
militer dalam karya sastra yang telah atau dalam hegemoni negara. Hal ini
menarik karena secara historis militer memegang peranan penting dalam proses
pembentukan negara Indonesia. Membicarakan Indonesia, dari sejak masa kerajaan,
penjajahan hingga masa kemerdekaan, tidak akan dapat dilepaskan dari aspek
kemiliterannya. Hal itu terutama jika dilihat sebagai suatu wilayah yang
dikuasai oleh pihak tertentu dan yang harus dipertahankan demi kekuasaan
tersebut. Dalam melaksanakan fungsi pertahanan itu, militer merupakan aspek utama
dan bahkan terpenting di antara aspek yang lain.
Oleh karena peranannya dalam
pertahanan di atas, militer dapat dikatakan sebagai alat atau aparatus
negara. Militer menjaga kedaulatan negara dari berbagai ancaman baik dari luar
maupun ancaman dari dalam. Dalam praktiknya di Indonesia, militer tidak hanya
mengurusi masalah pertahanan, tetapi juga menjadi aparat penjaga stabilitas
politik negara. Bidang jangkauannya yang semakin luas ini mendudukkan militer
pada posisi yang sangat penting dalam sistem kenegaraan. Militer hampir
mendominasi segala aspek kehidupan pemerintahan negara Indonesia dari masa ke
masa. Oleh karena itu, tak salah jika kadangkala militer dipersamakan dengan
negara itu sendiri.
Jadi, membicarakan militer bukan
lagi hal yang dapat dilakukan secara bebas dan seenaknya. Negara akan sangat
peduli dan memperhatikan bagaimana citra militer di mata masyarakat. Begitu
pula di dalam novel-novel. Berbagai tindak pembredelan, pelarangan, dan bahkan
pembakaran adalah sekelumit tindak represif negara terhadap novel-novel yang
dianggap tindak sejalan dengannya. Perkembangan wacana militer dalam
novel-novel melihat kenyataan pengendalian negara tersebut menjadi pembahasan
utama dalam artikel ini. Secara lebih rinci terdapat dua masalah yang hendak diuraikan
sebagai tindak lanjutnya. Pertama, bagaimana narasi dan deskripsi
singkat wacana militer dalam novel-novel modern Indonesia. Kedua, bagaimana konteks yang melahirkan
wacana-wacana militer di atas.
WACANA MILITER DALAM SASTRA
INDONESIA
Novel Indonesia modern yang
pertama kali menampakkan aspek militer adalah Sitti Nurbaya—SN (1922;
Balai Pustaka) karya Marah Rusli. Selanjutnya adalah Sengsara Membawa
Nikmat--SMN (1929; Balai Pustaka) karya Tulis Sutan Sati, dan Hulubalang
Raja--HR (1934; Balai Pustaka) karya Nur Sutan Iskandar. Ketiga novel ini
terbit pada masa akhir pendudukan kolonial Belanda. Corak militer yang
ditampilkan ketiga novel tersebut hampir sama, yaitu menghadirkan seorang tokoh
pribumi yang menjadi tentara Belanda.
Tokoh Syamsul Bahri dalam Sitti
Nurbaya adalah serdadu Belanda dengan pangkat letnan. Ia memimpin pasukan
Belanda dalam meredam pemberontakan pribumi di Padang. Sebagai seorang tentara,
Samsulbahri dikenal baik budinya, peramah pengasih dan penyayang, penolong
tanpa melihat rupa dan bangsa. Dalam ketentaraan ia adalah Letnan Mas yang
gagah berani dan telah menolong pemerintahan (Belanda) dalam beberapa kesulitan
peperangan (SN, 331) Yang menarik lagi adalah bahwa tokoh antagonis
Datuk Maringgih, yang sangat jahat ditempatkan sebagai pemimpin pemberontak
terhadap Belanda (yang berarti pejuang Indonesia). Maka dapat dikatakan bahwa
pejuang Indonesia adalah datuk maringgih-datuk maringgih yang lain.
Tokoh Midun dalam Sengsara
Membawa Nikmat digambarkan sebagai anak lelaki yang baik, alim, dan disukai
oleh semua orang (SMN, 10). Parasnya tampan, tubuhnya kuat dan sehat (SMN,
11). Oleh karena itu, ia diangkat
menjadi polisi di Tanjung Priok. Bahkan, oleh komisaris Belanda ia diangkat
menjadi asisten demang. Tokoh terakhir adalah Sultan Malakewi dalam Hulubalang
Raja. Sultan Malekewi muncul sebagai penglima perang yang tangkas, gagah
berani, dan rendah hati yang
berdampingan dengan Belanda (HR, 119, 137, 140). Ia bekerjasama
dengan Belanda untuk melumpuhkan pemberontakan rakyat Sumatera.
Dari penelusuran terhadap tiga
novel ini, terdapat dua kesimpulan menarik mengenai keberadaan militer. Pertama,
tentara yang gagah berani adalah tentara Belanda (pemerintah yang berkuasa pada
waktu itu). Orang-orang pribumi yang baik budinya dan gagah perkasa menjadi
bagian dari tentara itu. Mereka berada di pihak Belanda yang akan selalu
melindungi Belanda. Setiap orang ingin menjadi tentara Belanda karena mereka
dianggap gagah, cerdik dan baik. Kedua, yang dikatakan musuh dan
pemberontak adalah orang-orang pribumi yang tidak mau tunduk dan bekerjasama
dengan Belanda (yang berarti adalah pejuang
kemerdekaan Indonesia). Pemberontak ini diceritakan sebagai kaum yang jahat,
bebal (tidak mau bekerja sama), dan bodoh.
Berdasarkan konteks awal novel Indonesia
modern (zaman kolonial Belanda dan pendudukan Jepang) di atas, maka pengertian
wacana militer dalam novel Indonesia modern berarti segala wacana menyangkut
orang-orang atau pasukan dengan persenjataan tertentu untuk melindungi,
merebut, menaklukan, bahkan menghancurkan area atau kedaulatan tertentu yang
diceritakan dalam novel-novel Indonesia setelah tahun 1920.
Jadi, pengertian militer di sini
memiliki cakupan yang luas. Militer bukan hanya berarti sekelompok orang yang
diorganisasi suatu negara dengan berbagai aturan dan kedisiplinan untuk
melakukan pertempuran dan pertahanan (Finer, 1962; Muhaimin, 2002). Pembicaraan mengenai militer juga tidak
semata berkaitan dengan fungsi defensi ataupun ekspansinya, tetapi mencakup
kehidupan personal orang-orang di dalamnya, terutama menyangkut semangat,
ideologi, kondisi psikologis, dan persepsi-persepsi mereka terhadap dunia.
Novel-novel dengan aspek militer
di atas adalah novel yang berhasil terbit dan lulus sensor kolonial. Alur
cerita, tokoh-tokoh, dan aspek militer yang dihadirkan sesuai dengan
kepentingan Belanda. Terhadap karya sastra, pemerintah kolonial melakukan
kontrol dengan menciptakan berbagai peraturan atau undang-undang. Salah satunya
adalah persbreidelordonnantie 1930 (Jaringan Kerja Budaya/JKB, 1999: 16).
Berdasarkan peraturan dan undang-undang ini pemerintah kolonial bebas melakukan
tindakan represif berupa pelarangan ataupun pembredelan terhadap novel-novel
yang dianggap membahayakan ataupun melawan negara (kolonial).
Kontrol ini dipakai untuk
melindungi kepentingan kolonial Belanda yang tidak menginginkan perubahan yang
dapat mengancam kedudukan dan dominasi politiknya. Balai Pustaka didirikan
untuk mendukung kontrol ini dengan memonopoli penerbitan bahan bacaan bagi
anak-anak sekolah zaman penjajahan. Kriteria bacaan yang baik ditentukan oleh
badan ini (Sumardjo, 1999: 110).
Pada tahun 1942, Indonesia
dikuasai oleh Jepang. Paling tidak terdapat dua novel yang terbit pada
waktu-waktu itu, yaitu, Cinta Tanah Air--CTA (1944; Balai Pustaka) karya
Nur Sutan Iskandar dan Palawija (1944; Balai Pustaka) karya Karim Halim.
Kedua-duanya sarat akan wacana militer dan propaganda. Amirrudin, tokoh utama
dalam Cinta Tanah Air merupakan anggota PETA yang begitu mengagumi
Jepang terutama semangat bushido-nya. Amirrudin, begitu takjubnya kepada
kehebatan tentara Jepang, baik itu Seinendan (CTA, 11), Keibodan (CTA,
21), maupun Heiho (CTA, 72). Oleh karena ketakjubannya itu ia kemudian
masuk PETA. Bala tentara Dai Nippon tak mau mundur, bahkan tak tahu arti mundur
(CTA, 77). Bala tentara Nippon memiliki semangat kesatria yang tak takut
mati (CTA, 109). Akibat kemenangan Nippon terhadap Rusia, dunia Timur
menjadi bangkit (CTA, 65). Pemerintah bala tentara Nippon juga membuka
banyak lapangan pekerjaan. ...pemerintah bala tentara segera mengatur
penghidupan rakyat dengan sebaik-baiknya. Bermacam-macam kerja dan usaha
diadakan. Mana yang mau bertani diberi tanah...” (CTA, 64).
Ia juga mempercayai bahwa Jepang
merupakan penolong Indonesia dari penjajahan Belanda. Jepang datang sebagai
saudara tua Indonesia. Menurut mereka, Indonesia dan Jepang sama-sama kulit
berwarna [yang berarti oposisi dari kulit putih] (CTA, 77). Mereka sangat
membenci Belanda. Belanda hanya mementingkan kepentingan sendiri, tidak peduli
kepada rakyat Indonesia. Belanda jahat dan sangat kejam kepada rakyat
Indonesia.Jepang menawarkan kesamarataan dan keadilan. Tidak ada pembedaan
kelas asing atau ‘inlander’ (CTA, 28). Jepang dikirimkan oleh Allah
untuk membantu Indonesia merdeka (CTA, 122). Mereka memiliki semboyan;
Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, Sekutu kita sapu (CTA, 165).
Begitu pula dengan Sumardi, tokoh utama novel Palawija. Ia adalah
anggota PETA yang ikut berjuang bersama Jepang
untuk mengusir Belanda dari Indonesia.
Pada zaman pendudukan Jepang ini
peranan Balai Pustaka masih besar. Namun sensor redaktur sudah tidak bersifat
kolonial lagi, terbukti dari terbitnya novel-novel yang “melawan Belanda”
(Sumardjo, 1999:119). Jepang ingin merebut simpati Indonesia dengan menempatkan
diri sebagai pahlawan yang membantu mengusir Belanda. Pemerintah Jepang
mendirikan satu lembaga yang disebut Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka
Shidoso untuk menghimpun tenaga sastrawan dan seniman, agar mereka dapat
dimanfaatkan bagi kepentingan perang Asia Timur Raya. Lembaga ini melaksanakan
sensor keras terhadap penerbitan, menghasilkan karya sastra yang sejalan dengan
“pesanan” pemerintah, sehingga dalam berbagai karya sastrawan yang dihasilkan,
unsur propaganda tidak dapat dielakkan. Hal ini tampak pada dua novel di atas.
Setelah Indonesia merdeka, novel
dengan muatan militer baru muncul sekitar tahun 1950-an, ditandai dengan novel Surapati
(1950; Balai Pustaka) karya Abdul Muis. Selanjutnya secara berturut-turut,
novel Perburuan (1950; Balai Pustaka), Keluarga Gerilya (1950;
Pembangunan), Di Tepi Kali Bekasi (1951; Balai Pustaka), Mereka yang
Dilumpuhkan (1951; Balai Pustaka) karya Pramoedya Ananta Toer; Djokja Diduduki
karya Muhamad Dimyati (1950; Gapura); Menunggu Bedug Berbunji karya
Hamka (1950; Firma Pustaka Antara); Jalan Tak Ada Ujung (1952; Pustaka
Jaya) karya Mochtar Lubis; Robert Anak Surapati (1953; Balai Pustaka)
karya Abdul Muis; Telaga Darah karya Damhoeri (1956; UP Tagore); Pulang
(1958; Pembangunan) karya Toha Muchtar; Pagar Kawat Berduri (1963;
Djambatan) karya Trisnoyuwono; Sepasang Suami Istri (1964; Firma Mega
Bookstore) karya Satyagraha Hoerip; dan Tanah Kesayangan karya Bokor
Hutasuhut (1965).
Pemerintahan Soekarno mendapat
dukungan dari negara-negara sosialis di Eropa dan Asia Timur. Ia melancarkan
kampanye menentang pengaruh imperialisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia
(JKB,1999:24 ; Kahin, 1995). Kedekatan Soekarno dengan negara-negara sosialis
Eropa Timur ini berimplikasi pada banyak hal. Salah satunya kehidupan pers dan
karya sastra. Segala buku (karya sastra) yang berasal atau berbau Barat
dilarang terbit dan dibredel bagi yang sudah terbit. Undang-undang yang
mendasari pelarangan tersebut antara lain, Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat
selaku Penguasa Militer No. PKM/001/9/1956 dan Penetapan Presiden No.4/1963
(JKB, 1999:16,21).
Implikasinya terhadap wacana
militer dalam novel-novel yang terbit pada masa itu adalah terjadinya booming
tema-tema revolusi yang menyoroti perjuangan tentara nasional melawan penjajah
seperti telah diungkapkan di atas. Novel-novel bertema revolusi ini sangat
dianjurkan untuk memupuk rasa nasionalisme rakyat—yang berarti langgengnya
kekuasaan pemerintahan/Soekarno.
Berbagai kriteria seorang pejuang
(militer) yang ideal dihadirkan. Tokoh Hardo dalam novel Perburuan,
tokoh Hazil dalam Jalan Tak Ada Ujung, dan tokoh Herman serta Toto dalam
Pagar Kawat Berduri adalah orang-orang yang memiliki semangat juang
sangat tinggi dan rela mengorbankan apa saja demi tanah air.. Mereka juga penuh
kasih sayang dan berjiwa besar. Sebagai contohnya adalah Hardo. Ia adalah
serdadu Peta yang memberontak dan gagal dan akhirnya diburu-buru (PB, 1949: 59).
Dalam pengejarannya, Hardo menemukan kenyataan bahwa orang-orang telah
berkhianat padanya, mereka tunduk pada Jepang, mereka pengecut dan pecundang.
Namun, Hardo tetap mempertahankan prinsipnya untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, memaafkan orang-orang yang telah berkhianat (PB, 1949:123), dan
tetap memelihara cintanya pada sang kekasih. Hazil juga menampakkan sifat-sifat
yang sama dengan Hardo.
Bagi Hazil, individu adalah
tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam
perkembangan orang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain.
Negara hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini
musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini
revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan
kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan
manusia-manusia (JTU, 40).
Karakter Hardo dan Hazil di atas
bertentangan sekali dengan karakter serdadu-serdadu musuh (Belanda atau
Jepang). Dalam Pagar Kawat Berduri, ada seorang serdadu Belanda bernama
letnan de Groot (ia memang besar dan tegap) yang berpedoman pada kekerasan
untuk melaksanakan kewajibannya, sebab ia percaya hanya dengan kekerasan bisa
tercapai keberesan dan kerapihan dalam mengurus tawanan...ia memperlakukan para
tawanan sebagai sekumpulan binatang yang keras kepala dan angkuh (PKB, 22).
Tokoh-tokoh pejuang di atas adalah
tokoh-tokoh pemuda yang terpelajar, cerdik, dan gagah. Herman dan Toto sebagai
contohnya. Mereka menjadi telik sandi yang tugasnya menyelundup untuk
berhubungan dengan orang-orang tertentu. Mereka berani dan cerdik (PKB, 2).
Toto pernah menunjukkan keberaniannya ketika ia dan Herman dalam suatu pasukan
terjebak patroli Belanda. Herman yang menuntun menyelamatkan pasukan dan Toto
seorang diri memancing menyesatkan serdadu-serdadu Belanda dan kemudian menembakinya (PKB, 2).
Mereka berada setingkat lebih terpelajar
dan beradab dibanding dengan pejuang-pejuang lain yang cenderung gegabah, tidak
berpikir panjang, dan dalam tataran tertentu mereka sangat kejam. Hal ini
tampak pada perilaku teman-teman seperjuangan Hazil dalam novel Jalan Tak
Ada Ujung. Mereka melakukan kekerasan dan kekejaman membabi buta terhadap
semua orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. ...dua orang perempuan
Tionghoa. Kita potong tiga hari yang lalu. Ketangkap lagi lewat kampung.
Diperiksa tidak mau mengaku, katanya mau menagih hutang. Hutang apa—hah, terus
dibeginiin. Dia menggerakan tangannya seakan orang yang hendak mencabut golok,
kemudian dengan jari telunjuknya digoresnya lehernya (JTU, 66).
Secara keseluruhan wacana-wacana
militer yang berkembang masih berkisar tentang kebiadaban penjajahan Belanda
ataupun Jepang. Corak militer yang dihadirkan adalah corak militer masa lalu. Selain
karena pada masa itu semangat revolusi masih sangat dominan dalam alam pikiran
seluruh rakyat Indonesia, keadaan militer pada masa awal kemerdekaan juga belum
stabil, masih dalam taraf mencari bentuk. Dalam proses tersebut terjadi
berbagai macam ketegangan dan friksi di tubuh intern militer Indonesia sehingga
kedudukannya dalam pemerintahan belum jelas dan mantap. Oleh karena itu,
militer Indonesia—dalam pengertian militer yang dimiliki secara resmi oleh
suatu negara merdeka—belum muncul atau diwacanakan dalam novel-novel.
Namun ada perubahan posisi, dan
bahkan ada perubahan kriteria dan sikap-sikap di dalam militer dibandingkan
dengan citra-citra militer pada novel-novel terdahulu. Perubahan posisi
terlihat jelas, jika dalam novel-novel pada masa penjajahan, pejuang dianggap
musuh maka kini berlaku sebaliknya. Perubahan sikap berkaitan dengan semangat
humanisme yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti Hardo dan Hazil. Mereka militer
yang manusiawi, yang berperasaan, dan setia. Gambaran militer demikian tidak
terlalu tampak dalam novel-novel pada masa sebelumnya (masa kolonial dan
pendudukan Jepang).
Pada tahun 1966, dengan
dikeluarkannya Supersemar, tampuk kekuasaan pemerintahan Indonesia berpindah
dari tangan Soekarno ke Soeharto. Sejak itu diberlakukan pemerintahan yang
dinamakan Orde Baru (Orde Baru menamakan pemerintahan Soekarno sebagai Orde
Lama). Novel-novel berwacana militer
yang terbit pada masa Orde Baru, antara lain, Masa Bergolak (1968; Balai
Pustaka) karya MA. Salmoen, Pergolakan (1974; Pustaka Jaya) karya Wildan
Yatim, Dari Hari ke Hari (1975; Pustaka Jaya) karya Mahbub Junaidi,
Perjanjian dengan Maut (1976; Pustaka Jaya) karya Harijadi S.
Hartowardjojo, Maut dan Cinta (1977) karya Mochtar Lubis; Tunas-Tunas
Luruh Lagi Tumbuh (1977) karya Canny R Talibonso; Tuyet (1978;
Gramedia) karya Bur Rasuanto; Dan Perang pun Usai (1979; Pustaka Jaya)
karya Ismail Marahimin; Si Bongkok (1981; Gramedia) karya Parakitri; Kubah
(1980; Pustaka Jaya) dan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Gramedia) karya
Ahmad Tohari; Burung-Burung Manyar (1981; Djambatan) karya YB.
Mangunwijaya; Kalah dan Menang (1981) karya STA Lembah Membara
(1984; Pustaka Jaya) karya Moerwanto, dan Anak Tanah Air (1985;
Gramedia) karya Ajip Rosidi.
Pemerintahan Orde Baru memakai
kekerasan terhadap lawan dengan menggunakan ABRI sebagai tiang pokok
dukungannya (militeristik). Orde Baru juga mengerahkan negara menjadi alat
ampuh untuk menjalankan kebijakan sambil meyakinkan rakyat tentang misinya
untuk menjalankan pembangunan otoriter dan menjaga persatuan nasional (Liddle,
2001: 80). Dalam menjalankan pemerintahannya ini, ABRI menjadi salah satu
aparat represif atau Represive State Apparatuses (RSAs). Selain itu,
Orde Baru juga menggunakan Ideological State Apparatuses (ISAs). Aparat
RSAs meliputi polisi, sistem pengadilan, dan tentara, sedangkan ISAs meliputi
pendidikan, keluarga, hukum, media, partai politik, sastra, dan seni (Salam,
2004: 15-26). Aparat ISAs pada masa Orde baru berfungsi membimbing kesadaran
melalui praktik hegemoni seperti yang dilakukan orde-orde sebelumnya demi
mencapai apa yang disebut ‘stabilitas nasional’
Oleh karena novel (karya sastra)
merupakan bagian dari ISAs, maka keberadaannya perlu dikendalikan. Secara
eksternal, Orde Baru mengendalikan novel-novel dengan menggunakan peralatan
RSAs berupa UU, peraturan, dan aparat yang berhak melakukan pembredelan dan
pelarangan terhadap sebuah novel yang dianggap membahayakan. Haryanto (1999)
mengungkapkan ada beberapa UU yang digunakan untuk melarang sebuah novel,
antara lain, UU Antisubversi (UU no.11/63), Haatzai Artikelen dalam
KUHP, dan UU Pertahanan Keamanan Negara. Pelarangan tersebut berlaku pada
novel-novel yang muatannya dapat mengancam keamanan negara, mengganggu
ketertiban umum, dan membahayakan stabilitas nasional.
Secara internal, Orde Baru
menanamkan konsensus dalam pikiran sastrawan melalui kerja hegemoni. Keyakinan
bahwa keamanan dan ketertiban negara harus dijaga dengan menghindarkan pikiran
dan tema-tema subvesif senantiasa ditanamkan dalam pikiran sastrawan. Hal ini
penting karena sastrawan dan karya sastra merupakan bagian dari ISAs Orde Baru.
Seperti sudah diungkapkan di atas,
bahwa Orde Baru sangatlah militeristik. Militer mendapatkan tempat yang begitu
luas sekaligus menjadi alat kekuasaan yang paling diandalkan. Dalam kaitannya
dengan karya sastra, militer merupakan lembaga utama yang mempunyai wewenang
untuk melakukan pelarangan ataupun pembredelan. Lembaga-lembaga tersebut antara
lain, Kopkamtib, Kejaksaan Agung, dan
kepolisian.
Oleh karena itu, bisa dipastikan
kendali Orde Baru ini menghasilkan novel-novel yang kompromis terutama yang
berkaitan dengan wacana militer. Novel-novel ini menghadirkan wacana militer ‘sesuai jalur’
Orde Baru. Secara historis, pada masa Orde Baru militer hampir berada di setiap
lini kehidupan masyarakat. Demikian pula yang digambarkan dalam novel-novelnya.
Militer adalah pahlawan, pembela rakyat, dan penjaga kedaulatan negara dari
pemberontak (terutama PKI). Misalnya, peranan ABRI menumpas PKI dan PRRI dalam
novel Pergolakan. Musuh militer adalah musuh rakyat, seperti terlihat
dalam novel Si Bongkok, Kubah, dan Dari Hari ke Hari. Menjadi
bagian dari militer adalah kebanggaan setiap orang seperti dialami tokoh Muladi
dalam Masa Bergolak, seorang insinyur yang rela menjadi tentara untuk
membela negara. Militer dihormati banyak orang seperti tokoh Rasus dalam Ronggeng
Dukuh Paruk. Militer mempunyai masa depan yang cerah, kedudukan sosial
tinggi di masyarakat, dan lain-lain.
Rasus dalam Trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk adalah fenomena paling menarik dan sekaligus paling mewakili
gambaran citra militer dalam novel yang sesuai dengan ‘keinginan negara’. Sebelum
menjadi tentara, Rasus adalah warga biasa yang miskin dan bodoh. Namun ia
memiliki kekaguman luar biasa pada tentara. Bisa berjalan bersama tentara, atau
hanya memakai baju bekas mereka adalah suatu kehormatan bagi Rasus (TRDP,
91-92). Tentara hadir di desa Rasus untuk menumpas pemberontak, dan mereka
berhasil. Desa menjadi aman kembali. Rasus diajari membaca dan menulis oleh
Sersan Slamet, komandan kompi tentara tersebut (TRDP, 93-94). Dapat dikatakan
Rasus berguru padanya. Rasus juga menjadi rajin beribadah sejak bergabung
dengan tentara-tentara itu. Dari orang yang biasa Rasus menjadi orang yang
sangat dihormati. Semua hendak melayaninya.
Jadi, militer dalam novel-novel
Orde Baru digambarkan sebagai orang-orang yang nyaris sempurna. Peranannya tidak
hanya sekedar pertahanan, tetapi juga secara kemasyarakatan. Tentara—dalam
kasus Rasus—menjadikan seseorang sebagai ‘manusia sempurna’, baik secara
pendidikan maupun secara spiritual. Dalam hal status tentara sendiri merupakan
status yang tinggi, yang dinginkan dan dihormati setiap orang. Novel Trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk dan lain-lain yang menggambarkan militer dengan
kriteria-kriteria di atas adalah novel kompromis, novel yang menyesuaikan
ceritanya dengan misi negara.
Jika tidak kompromis, maka wacana
militer muncul secara simbolis-strategis. Novel-novel simbolis strategis
mencoba lepas dari hegemoni namun berusaha menyiasati dengan mewacanakan
militer melalui berbagai simbol dalam unsur-unsur intrinsiknya. Selain itu
digunakan strategi seperti mengubah latar dan merekayasa tokoh. Novel Tuyet
dan Lembah Membara menceritakan otoriter dan kekerasan dalam dunia
militer. Namun latar yang digunakan di luar negeri (Vietnam dan Eropa). Kekerasan militer juga dihadirkan melalui
tokoh-tokoh kecil yang tidak penting, jauh dari teritorial pemerintah
(penguasa), atau bahkan dihadirkan melalui musuh penguasa.
Baik novel kompromis maupun novel
strategis, kedua-duanya merupakan produk pengendalian Orde Baru. Jika
disimpulkan, meskipun dalam kurun waktu empat zaman di atas Indonesia
menjalankan sistem pemerintahan dengan ideologi, peraturan, kecenderungan, dan
kepentingan yang berbeda-beda, tetapi kekuasaan pada empat zaman tersebut
memiliki kesamaan dalam hal kendali terhadap novel-novel—yang berarti juga
terhadap wacana-wacana militer di dalamnya. Meskipun kriteria-kriteria
menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak itu berbeda-beda sesuai dengan
ideologi masing-masing zaman, alasan utama mereka tetap sama, yaitu, menjaga
ketertiban dan keamanan negara yang berarti untuk menjaga kepentingan penguasa
Berakhirnya rezim Orde Baru pada
tahun 1998 ditandai dengan reformasi besar-besaran dalam sistem pemerintahan
dan perundang-undangan. Salah satunya adalah penghapusan UU Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi melalui PUU
No.26 tahun 1999. Penghapusan undang-undang ini menjadi semacam gerbang
kebebasan. Novel-novel yang selama masa-masa sebelumnya dilarang kemudian
diterbitkan dan beredar bebas di pasaran. Wacana-wacana militer yang dulu tidak
diceritakan mendapatkan tempatnya kembali.
Terjadi perubahan mekanisme
produksi wacana militer. Militer yang dulu dianggap sebagai pahlawan, guru,
orang terhormat, bahkan dalam taraf tertentu seperti kiai, berubah menjadi
orang yang gampang membunuh, suka menculik, penyebar kebohongan, korupsi dan
sebagainya. Ayu Utami dalam kedua novelnya, Saman (1998) dan Larung (2001)
memaparkan dengan jelas bagaimana militer memiliki otoritas penuh untuk menuduh
seseorang adalah musuh negara. Dalam Saman militer sebagai aparat
keamanan bebas melakukan pembunuhan terhadap seseorang hanya lantaran dicurigai
mengajarkan paham komunisme di Indonesia. Sementara itu, Larung menceritakan
bagaimana militer sebagai intelejen negara telah menyebarkan ingatan
palsu/buatan kepada masyarakat tentang peristiwa G30S PKI
Intrik politik dan kekerasan yang
dilakukan oleh militer di Penjara Nusakambangan, Penjara Sukamiskin, Institut
Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Kuil Yasukuni Tokyo,
hingga ke Hiroshima, Kamp Konsentrasi Nazi Sachsenhausen dan Holocaust Memorial
Berlin diungkap dengan jelas dalam novel Bulan Jingga dalam Kepala
(2007) karya Fadjroel Rachman. Penculikan militer terhadap mahasiswa dan
orang-orang yang dianggap berbahaya juga dipaparkan dalam novel Epigram (2005)
karya Jamal. Nada-nada sejenis tentang militer juga dipaparkan oleh novel-novel
lainnya.
Namun, perlu diketahui bahwa
militer yang diceritakan lebih terbuka dalam novel-novel pasca Orde Baru adalah
gambaran militer masa lalu (khususnya militer masa Orde Baru). Sampai tahun
2009 ini berdasarkan penelusuran penulis, wacana militer pasca Orde Baru tidak
diceritakan dalam novel-novel. Hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama,
berbagai tekanan dan pengendalian yang ketat dari negara pada masa Orde Baru
membuat sastrawan tak bisa menceritakan militer dengan bebas. Hal itu baru bisa
dilakukan setelah Orde Baru runtuh.
Kedua, perlu diperhatikan
bahwa keruntuhan Orde Baru ditandai oleh reformasi besar-besaran terhadap
berbagai konsep, kebijakan, ataupun undang-undang. Salah satunya adalah
penghapusan Dwi fungsi ABRI. Hal ini disambut baik oleh seluruh masyarakat
karena selama ini Dwi Fungsi ABRI merupakan payung hukum bagi militer untuk
melakukan berbagai tindakan yang dirasa masyarakat telah melampaui hak-hak dan
kewajibannya. Implikasi lain yang lebih penting adalah adanya harapan dan kepercayaan
baru terhadap militer dari kalangan sipil, termasuk sastrawan. Berbagai
perubahan dan reposisi militer dalam negara menjanjikan citra yang lebih baik
bagi diri militer sendiri. Oleh karena itu sastrawan merasa tidak lagi
berkepentingan mendiskreditkan militer melalui karya-karyanya. Jika pada
waktu-waktu kemudian militer diceritakan dalam novel, maka tidak menutup
kemungkinan militer akan dicitrakan lebih baik daripada wacana-wacana yang
sudah lebih dulu muncul.
KESIMPULAN
Aspek militer telah diwacanakan
dalam novel-novel Indonesia dari mulai Sitti Nurbaya (1922) karya Marah
Rusli hingga Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami.
Negara dalam hal ini berperan penting menggiring wacana-wacana militer
tersebut. Novel tidak dibiarkan mewacanakan sesuatu—dalam hal ini militer—di
luar garis yang telah ditentukan olehnya. Padahal dalam kenyataan, militer
dengan kedudukannya yang begitu kuat
dapat dipersamakan dengan negara itu sendiri. Jadi, citra militer yang tampak
pada novel-novel dari masa pemerintahan Belanda hingga Orde Baru dalam beberapa
aspek menunjukkan adanya kesamaan. Militer yang baik adalah militer negara.
Militer yang melindungi rakyat, penuh sopan-santun, dan berbudi. Militer yang
tidak baik bukan militer negara. Mereka adalah musuh yang harus dihancurkan.
Terlepas dari semua itu, wacana
yang satu selalu hadir secara berdampingan dengan wacana yang lain. Bukan dalam
bentuk dikotomi sederhana melainkan lebih rumit. Wacana-wacana tersebut saling
bertanding. Demikian pula wacana militer dalam karya sastra. Sastrawan seperti
halnya kaum sipil lainnya juga merasakan dinamika hubungan sipil dan militer
yang dalam banyak hal selalu dipertentangkan ataupun saling mempertentangkan
diri. Namun, sekali lagi karena militer begitu kuasanya, maka wacana-wacana tandingan tersebut menjadi
terkalahkan atau tersembunyi.
Wacana-wacana militer yang
tersembunyi ini mendapatkan tempatnya kembali ketika kekuasaan Orde Baru
runtuh. Seiring berjalannya waktu, dikotomi sipil dan militer pun mulai
mencair. Bukan hanya karena berbagai perbaikan dalam sistem negara yang
berkaitan dengan militer, namun juga niat dalam diri militer sendiri untuk
memperbaiki dan memposisikan kembali pada fungsi hakikinya sebagai alat
pertahanan negara.
Daftar Pustaka
Damono,
Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Eriyanto.
2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.
Finer, SE.
1962. The man On Horseback: The Role of the Military in Politics. New
York, N.Y: Frederick A. Praeger.
Haryanto,
Ignatius. 1999. Kejahatan Negara, Telaah tentang Penerapan Delik Keamanan
Negara. Jakarta: ELSAM
Jaringan
Kerja Budaya (JKB). 1999. Menentang Peradaban, Pelarangan Buku di Indonesia.
Jakarta: ELSAM
Kahin,
Audrey dan George McTurnan Kahin. 1997. Subversi sebagai Politik Luar Negeri.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Press
Jassin, HB. 1975. Kesusastraan
Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka
Muhaimin,
Yahya A. 2002. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Liddle, R.
William. 2001. “Rezim Orde Baru” dalam Indonesia Beyond Soeharto. Negara,
Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Donald K. Emmerson (ed). Jakarta: Gramedia.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam,
Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKiS
Sumardjo,
Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: penerbit
Alumni
Novel-Novel
Halim, Karim. 1944. Palawija. Jakarta:
Balai Pustaka.
Iskandar, Nur St. 1984. Hulubalang Raja
(Cet. 8). Jakarta: Balai Pustaka
Iskandar, Nur St. 1963. Cinta Tanah Air
(Cet. 4). Jakarta: Balai Pustaka
Jamal. 2005. Epigram. Jakarta: Gramedia
Juwono, Trisno. Pagar Kawat Berduri.
Jakarta: Djambatan
Lubis, Mochtar. 1952. Jalan Tak Ada Ujung.
Jakarta: Balai Pustaka
Moerwanto. 1984. Lembah Membara. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Rachman, Fadjroel.2007. Bulan Jingga dalam Kepala. Jakarta: Gramedia
Rasuanto, Bur. 1978. Tuyet. Jakarta:
Gramedia
Rusli, Marah. 1990. Sitti Nurbaya (cet.20).
Jakarta: Balai Pustaka
Salmoen, MA. 1964. Masa Bergolak.
Jakarta: Balai Pustaka
Sati, Tulis Sutan. 1972 Sengsara Membawa Nikmat (Cet. 2).
Jakarta : Balai Pustaka
Toer, Pramoedya Ananta. 1952. Perburuan
(cet.2). Jakarta: Balai Pustaka
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk
(Trilogi, Cet.2). Jakarta: Gramedia
Utami, Ayu. 2002. Saman (cet.20). Jakarta: KPG
Utami, Ayu. 2002. Larung (cet.2). Jakarta: KPG
Yatim, Wildan. 1974. Pergolakan. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar