Sabtu, 21 April 2012

MILITER, NEGARA, DAN SASTRA INDONESIA



Ramayda Akmal[1]
Aprinus Salam[2]

Abstrak
Tulisan  ini mencoba menjelaskan relasi kewacanaan antara militer, negara, dan karya sastra, khususnya novel di Indonesia. Secara historis kedudukan militer di negara Indonesia selama beberapa dekade semenjak kemerdekaan sangatlah kuat. Militer Indonesia tidak hanya berada di ranah pertahanan, tetapi juga memasuki ranah sipil seperti dunia politik, ekonomi, dan lain-lain. Militer dipersamakan dengan negara itu sendiri. Berdasarkan kenyataan ini, melawan atau bertentangan dengan militer berarti melawan negara. Oleh karena itu, pembicaraan—lebih khusus lagi citra—tentang militer menjadi sangat penting, diperhatikan, dan dikendalikan  demi menjaga stabilitas negara.
Dalam hal ini, sastrawan dan karya sastra merupakan salah satu aspek yang perlu dikendalikan. Pengendalian ini bisa terjadi secara represif ataupun hegemonik, dan militer memegang peranan utama untuk menjalankan tugas ini. Untuk mengetahui sejauh mana negara mengambil peran dalam mengendalikan novel-novel khususnya berkaitan dengan wacana militer di dalamnya, dilakukan penelusuran terhadap novel-novel Indonesia modern, mulai dari novel yang terbit setelah 1920 hingga novel yang terbit pasca Orde Baru. Beberapa hal  yang diuraikan dalam penelitian ini adalah narasi dan deskripsi singkat wacana militer dalam novel-novel tersebut, dan konteks yang melahirkan wacana-wacana militer di atas. Dengan menggunakan metode semiotis dan analisis kewacanaan akhirnya dapat ditemukan bahwa wacana militer dalam novel-novel dari tahun 1920an hingga Orde Baru sangat dikendalikan oleh negara.
Kata Kunci: Militer-Novel-Negara-Indonesia


PENDAHULUAN
Novel  merupakan cermin berbagai fenomena sosial. Namun, karya sastra tidak melukiskan realitas zaman dalam unsur-unsur di atas  secara per se. Realitas dalam karya sastra adalah gabungan dari realitas dalam konteks sosial budaya masyarakat dan realitas yang dibayangkan berdasar pada ideologi penulisnya.  Oleh karena itu, pada hakikatnya karya sastra selalu mengandung berbagai gagasan yang ditanamkan penulisnya, yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu—atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu (Damono, 1979: 2).
Berdasarkan kemungkinan ini, negara sebagai pihak yang ingin selalu memenangkan kuasa, menganggap bahwa karya sastra perlu diatur, ditertibkan, dan diselaraskan untuk mendukung kuasa negara tersebut. Negara menentukan wacana-wacana yang ada dalam karya sastra untuk mendukung kekuasaannya. Michel Foucault mendefinisikan wacana sebagai sesuatu yang hadir untuk memproduksi yang lain (gagasan, konsep, atau efek). Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu objek (Eriyanto, 2001: 73-74). Ciri utamanya ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat.
Tulisan ini melihat wacana militer dalam karya sastra yang telah atau dalam hegemoni negara. Hal ini menarik karena secara historis militer memegang peranan penting dalam proses pembentukan negara Indonesia. Membicarakan Indonesia, dari sejak masa kerajaan, penjajahan hingga masa kemerdekaan, tidak akan dapat dilepaskan dari aspek kemiliterannya. Hal itu terutama jika dilihat sebagai suatu wilayah yang dikuasai oleh pihak tertentu dan yang harus dipertahankan demi kekuasaan tersebut. Dalam melaksanakan fungsi pertahanan itu, militer merupakan aspek utama dan bahkan terpenting di antara aspek yang lain.
Oleh karena peranannya dalam pertahanan di atas, militer dapat dikatakan sebagai alat atau aparatus negara. Militer menjaga kedaulatan negara dari berbagai ancaman baik dari luar maupun ancaman dari dalam. Dalam praktiknya di Indonesia, militer tidak hanya mengurusi masalah pertahanan, tetapi juga menjadi aparat penjaga stabilitas politik negara. Bidang jangkauannya yang semakin luas ini mendudukkan militer pada posisi yang sangat penting dalam sistem kenegaraan. Militer hampir mendominasi segala aspek kehidupan pemerintahan negara Indonesia dari masa ke masa. Oleh karena itu, tak salah jika kadangkala militer dipersamakan dengan negara itu sendiri.
Jadi, membicarakan militer bukan lagi hal yang dapat dilakukan secara bebas dan seenaknya. Negara akan sangat peduli dan memperhatikan bagaimana citra militer di mata masyarakat. Begitu pula di dalam novel-novel. Berbagai tindak pembredelan, pelarangan, dan bahkan pembakaran adalah sekelumit tindak represif negara terhadap novel-novel yang dianggap tindak sejalan dengannya. Perkembangan wacana militer dalam novel-novel melihat kenyataan pengendalian negara tersebut menjadi pembahasan utama dalam artikel ini. Secara lebih rinci terdapat dua masalah yang hendak diuraikan sebagai tindak lanjutnya. Pertama, bagaimana narasi dan deskripsi singkat wacana militer dalam novel-novel modern Indonesia. Kedua,  bagaimana konteks yang melahirkan wacana-wacana militer di atas.

WACANA MILITER DALAM SASTRA INDONESIA
Novel Indonesia modern yang pertama kali menampakkan aspek militer adalah Sitti Nurbaya—SN (1922; Balai Pustaka) karya Marah Rusli. Selanjutnya adalah Sengsara Membawa Nikmat--SMN (1929; Balai Pustaka) karya Tulis Sutan Sati, dan Hulubalang Raja--HR (1934; Balai Pustaka) karya Nur Sutan Iskandar. Ketiga novel ini terbit pada masa akhir pendudukan kolonial Belanda. Corak militer yang ditampilkan ketiga novel tersebut hampir sama, yaitu menghadirkan seorang tokoh pribumi yang menjadi tentara Belanda.
Tokoh Syamsul Bahri dalam Sitti Nurbaya adalah serdadu Belanda dengan pangkat letnan. Ia memimpin pasukan Belanda dalam meredam pemberontakan pribumi di Padang. Sebagai seorang tentara, Samsulbahri dikenal baik budinya, peramah pengasih dan penyayang, penolong tanpa melihat rupa dan bangsa. Dalam ketentaraan ia adalah Letnan Mas yang gagah berani dan telah menolong pemerintahan (Belanda) dalam beberapa kesulitan peperangan (SN, 331) Yang menarik lagi adalah bahwa tokoh antagonis Datuk Maringgih, yang sangat jahat ditempatkan sebagai pemimpin pemberontak terhadap Belanda (yang berarti pejuang Indonesia). Maka dapat dikatakan bahwa pejuang Indonesia adalah datuk maringgih-datuk maringgih yang lain.
Tokoh Midun dalam Sengsara Membawa Nikmat digambarkan sebagai anak lelaki yang baik, alim, dan disukai oleh semua orang (SMN, 10). Parasnya tampan, tubuhnya kuat dan sehat (SMN, 11). Oleh karena itu,  ia diangkat menjadi polisi di Tanjung Priok. Bahkan, oleh komisaris Belanda ia diangkat menjadi asisten demang. Tokoh terakhir adalah Sultan Malakewi dalam Hulubalang Raja. Sultan Malekewi muncul sebagai penglima perang yang tangkas, gagah berani, dan rendah hati yang  berdampingan dengan Belanda (HR, 119, 137, 140). Ia bekerjasama dengan Belanda untuk melumpuhkan pemberontakan rakyat Sumatera.
Dari penelusuran terhadap tiga novel ini, terdapat dua kesimpulan menarik mengenai keberadaan militer. Pertama, tentara yang gagah berani adalah tentara Belanda (pemerintah yang berkuasa pada waktu itu). Orang-orang pribumi yang baik budinya dan gagah perkasa menjadi bagian dari tentara itu. Mereka berada di pihak Belanda yang akan selalu melindungi Belanda. Setiap orang ingin menjadi tentara Belanda karena mereka dianggap gagah, cerdik dan baik. Kedua, yang dikatakan musuh dan pemberontak adalah orang-orang pribumi yang tidak mau tunduk dan bekerjasama dengan Belanda (yang berarti adalah  pejuang kemerdekaan Indonesia). Pemberontak ini diceritakan sebagai kaum yang jahat, bebal (tidak mau bekerja sama), dan bodoh.
Berdasarkan konteks awal novel Indonesia modern (zaman kolonial Belanda dan pendudukan Jepang) di atas, maka pengertian wacana militer dalam novel Indonesia modern berarti segala wacana menyangkut orang-orang atau pasukan dengan persenjataan tertentu untuk melindungi, merebut, menaklukan, bahkan menghancurkan area atau kedaulatan tertentu yang diceritakan dalam novel-novel Indonesia setelah tahun 1920.
Jadi, pengertian militer di sini memiliki cakupan yang luas. Militer bukan hanya berarti sekelompok orang yang diorganisasi suatu negara dengan berbagai aturan dan kedisiplinan untuk melakukan pertempuran dan pertahanan (Finer, 1962; Muhaimin, 2002).  Pembicaraan mengenai militer juga tidak semata berkaitan dengan fungsi defensi ataupun ekspansinya, tetapi mencakup kehidupan personal orang-orang di dalamnya, terutama menyangkut semangat, ideologi, kondisi psikologis, dan persepsi-persepsi mereka terhadap dunia.
Novel-novel dengan aspek militer di atas adalah novel yang berhasil terbit dan lulus sensor kolonial. Alur cerita, tokoh-tokoh, dan aspek militer yang dihadirkan sesuai dengan kepentingan Belanda. Terhadap karya sastra, pemerintah kolonial melakukan kontrol dengan menciptakan berbagai peraturan atau undang-undang. Salah satunya adalah persbreidelordonnantie 1930 (Jaringan Kerja Budaya/JKB, 1999: 16). Berdasarkan peraturan dan undang-undang ini pemerintah kolonial bebas melakukan tindakan represif berupa pelarangan ataupun pembredelan terhadap novel-novel yang dianggap membahayakan ataupun melawan negara (kolonial).
Kontrol ini dipakai untuk melindungi kepentingan kolonial Belanda yang tidak menginginkan perubahan yang dapat mengancam kedudukan dan dominasi politiknya. Balai Pustaka didirikan untuk mendukung kontrol ini dengan memonopoli penerbitan bahan bacaan bagi anak-anak sekolah zaman penjajahan. Kriteria bacaan yang baik ditentukan oleh badan ini (Sumardjo, 1999: 110).
Pada tahun 1942, Indonesia dikuasai oleh Jepang. Paling tidak terdapat dua novel yang terbit pada waktu-waktu itu, yaitu, Cinta Tanah Air--CTA (1944; Balai Pustaka) karya Nur Sutan Iskandar dan Palawija (1944; Balai Pustaka) karya Karim Halim. Kedua-duanya sarat akan wacana militer dan propaganda. Amirrudin, tokoh utama dalam Cinta Tanah Air merupakan anggota PETA yang begitu mengagumi Jepang terutama semangat bushido-nya. Amirrudin, begitu takjubnya kepada kehebatan tentara Jepang, baik itu Seinendan (CTA, 11), Keibodan (CTA, 21), maupun Heiho (CTA, 72). Oleh karena ketakjubannya itu ia kemudian masuk PETA. Bala tentara Dai Nippon tak mau mundur, bahkan tak tahu arti mundur (CTA, 77). Bala tentara Nippon memiliki semangat kesatria yang tak takut mati (CTA, 109). Akibat kemenangan Nippon terhadap Rusia, dunia Timur menjadi bangkit (CTA, 65). Pemerintah bala tentara Nippon juga membuka banyak lapangan pekerjaan. ...pemerintah bala tentara segera mengatur penghidupan rakyat dengan sebaik-baiknya. Bermacam-macam kerja dan usaha diadakan. Mana yang mau bertani diberi tanah...” (CTA, 64).
Ia juga mempercayai bahwa Jepang merupakan penolong Indonesia dari penjajahan Belanda. Jepang datang sebagai saudara tua Indonesia. Menurut mereka, Indonesia dan Jepang sama-sama kulit berwarna [yang berarti oposisi dari kulit putih] (CTA, 77). Mereka sangat membenci Belanda. Belanda hanya mementingkan kepentingan sendiri, tidak peduli kepada rakyat Indonesia. Belanda jahat dan sangat kejam kepada rakyat Indonesia.Jepang menawarkan kesamarataan dan keadilan. Tidak ada pembedaan kelas asing atau ‘inlander’ (CTA, 28). Jepang dikirimkan oleh Allah untuk membantu Indonesia merdeka (CTA, 122). Mereka memiliki semboyan; Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, Sekutu kita sapu (CTA, 165). Begitu pula dengan Sumardi, tokoh utama novel Palawija. Ia adalah anggota PETA yang ikut berjuang bersama Jepang  untuk mengusir Belanda dari Indonesia.
Pada zaman pendudukan Jepang ini peranan Balai Pustaka masih besar. Namun sensor redaktur sudah tidak bersifat kolonial lagi, terbukti dari terbitnya novel-novel yang “melawan Belanda” (Sumardjo, 1999:119). Jepang ingin merebut simpati Indonesia dengan menempatkan diri sebagai pahlawan yang membantu mengusir Belanda. Pemerintah Jepang mendirikan satu lembaga yang disebut Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso untuk menghimpun tenaga sastrawan dan seniman, agar mereka dapat dimanfaatkan bagi kepentingan perang Asia Timur Raya. Lembaga ini melaksanakan sensor keras terhadap penerbitan, menghasilkan karya sastra yang sejalan dengan “pesanan” pemerintah, sehingga dalam berbagai karya sastrawan yang dihasilkan, unsur propaganda tidak dapat dielakkan. Hal ini tampak pada dua novel di atas.
Setelah Indonesia merdeka, novel dengan muatan militer baru muncul sekitar tahun 1950-an, ditandai dengan novel Surapati (1950; Balai Pustaka) karya Abdul Muis. Selanjutnya secara berturut-turut, novel Perburuan (1950; Balai Pustaka), Keluarga Gerilya (1950; Pembangunan), Di Tepi Kali Bekasi (1951; Balai Pustaka), Mereka yang Dilumpuhkan (1951; Balai Pustaka) karya Pramoedya Ananta Toer; Djokja Diduduki karya Muhamad Dimyati (1950; Gapura); Menunggu Bedug Berbunji karya Hamka (1950; Firma Pustaka Antara); Jalan Tak Ada Ujung (1952; Pustaka Jaya) karya Mochtar Lubis; Robert Anak Surapati (1953; Balai Pustaka) karya Abdul Muis; Telaga Darah karya Damhoeri (1956; UP Tagore); Pulang (1958; Pembangunan) karya Toha Muchtar; Pagar Kawat Berduri (1963; Djambatan) karya Trisnoyuwono; Sepasang Suami Istri (1964; Firma Mega Bookstore) karya Satyagraha Hoerip; dan Tanah Kesayangan karya Bokor Hutasuhut (1965).
Pemerintahan Soekarno mendapat dukungan dari negara-negara sosialis di Eropa dan Asia Timur. Ia melancarkan kampanye menentang pengaruh imperialisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia (JKB,1999:24 ; Kahin, 1995). Kedekatan Soekarno dengan negara-negara sosialis Eropa Timur ini berimplikasi pada banyak hal. Salah satunya kehidupan pers dan karya sastra. Segala buku (karya sastra) yang berasal atau berbau Barat dilarang terbit dan dibredel bagi yang sudah terbit. Undang-undang yang mendasari pelarangan tersebut antara lain, Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer No. PKM/001/9/1956 dan Penetapan Presiden No.4/1963 (JKB, 1999:16,21).
Implikasinya terhadap wacana militer dalam novel-novel yang terbit pada masa itu adalah terjadinya booming tema-tema revolusi yang menyoroti perjuangan tentara nasional melawan penjajah seperti telah diungkapkan di atas. Novel-novel bertema revolusi ini sangat dianjurkan untuk memupuk rasa nasionalisme rakyat—yang berarti langgengnya kekuasaan pemerintahan/Soekarno.
Berbagai kriteria seorang pejuang (militer) yang ideal dihadirkan. Tokoh Hardo dalam novel Perburuan, tokoh Hazil dalam Jalan Tak Ada Ujung, dan tokoh Herman serta Toto dalam Pagar Kawat Berduri adalah orang-orang yang memiliki semangat juang sangat tinggi dan rela mengorbankan apa saja demi tanah air.. Mereka juga penuh kasih sayang dan berjiwa besar. Sebagai contohnya adalah Hardo. Ia adalah serdadu Peta yang memberontak dan gagal dan akhirnya diburu-buru (PB, 1949: 59). Dalam pengejarannya, Hardo menemukan kenyataan bahwa orang-orang telah berkhianat padanya, mereka tunduk pada Jepang, mereka pengecut dan pecundang. Namun, Hardo tetap mempertahankan prinsipnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, memaafkan orang-orang yang telah berkhianat (PB, 1949:123), dan tetap memelihara cintanya pada sang kekasih. Hazil juga menampakkan sifat-sifat yang sama dengan Hardo.
Bagi Hazil, individu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia (JTU, 40).
Karakter Hardo dan Hazil di atas bertentangan sekali dengan karakter serdadu-serdadu musuh (Belanda atau Jepang). Dalam Pagar Kawat Berduri, ada seorang serdadu Belanda bernama letnan de Groot (ia memang besar dan tegap) yang berpedoman pada kekerasan untuk melaksanakan kewajibannya, sebab ia percaya hanya dengan kekerasan bisa tercapai keberesan dan kerapihan dalam mengurus tawanan...ia memperlakukan para tawanan sebagai sekumpulan binatang yang keras kepala dan angkuh (PKB, 22).
Tokoh-tokoh pejuang di atas adalah tokoh-tokoh pemuda yang terpelajar, cerdik, dan gagah. Herman dan Toto sebagai contohnya. Mereka menjadi telik sandi yang tugasnya menyelundup untuk berhubungan dengan orang-orang tertentu. Mereka berani dan cerdik (PKB, 2). Toto pernah menunjukkan keberaniannya ketika ia dan Herman dalam suatu pasukan terjebak patroli Belanda. Herman yang menuntun menyelamatkan pasukan dan Toto seorang diri memancing menyesatkan serdadu-serdadu Belanda dan kemudian  menembakinya (PKB, 2).
Mereka berada setingkat lebih terpelajar dan beradab dibanding dengan pejuang-pejuang lain yang cenderung gegabah, tidak berpikir panjang, dan dalam tataran tertentu mereka sangat kejam. Hal ini tampak pada perilaku teman-teman seperjuangan Hazil dalam novel Jalan Tak Ada Ujung. Mereka melakukan kekerasan dan kekejaman membabi buta terhadap semua orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. ...dua orang perempuan Tionghoa. Kita potong tiga hari yang lalu. Ketangkap lagi lewat kampung. Diperiksa tidak mau mengaku, katanya mau menagih hutang. Hutang apa—hah, terus dibeginiin. Dia menggerakan tangannya seakan orang yang hendak mencabut golok, kemudian dengan jari telunjuknya digoresnya lehernya (JTU, 66).
Secara keseluruhan wacana-wacana militer yang berkembang masih berkisar tentang kebiadaban penjajahan Belanda ataupun Jepang. Corak militer yang dihadirkan adalah corak militer masa lalu. Selain karena pada masa itu semangat revolusi masih sangat dominan dalam alam pikiran seluruh rakyat Indonesia, keadaan militer pada masa awal kemerdekaan juga belum stabil, masih dalam taraf mencari bentuk. Dalam proses tersebut terjadi berbagai macam ketegangan dan friksi di tubuh intern militer Indonesia sehingga kedudukannya dalam pemerintahan belum jelas dan mantap. Oleh karena itu, militer Indonesia—dalam pengertian militer yang dimiliki secara resmi oleh suatu negara merdeka—belum muncul atau diwacanakan dalam novel-novel. 
Namun ada perubahan posisi, dan bahkan ada perubahan kriteria dan sikap-sikap di dalam militer dibandingkan dengan citra-citra militer pada novel-novel terdahulu. Perubahan posisi terlihat jelas, jika dalam novel-novel pada masa penjajahan, pejuang dianggap musuh maka kini berlaku sebaliknya. Perubahan sikap berkaitan dengan semangat humanisme yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti Hardo dan Hazil. Mereka militer yang manusiawi, yang berperasaan, dan setia. Gambaran militer demikian tidak terlalu tampak dalam novel-novel pada masa sebelumnya (masa kolonial dan pendudukan Jepang).
Pada tahun 1966, dengan dikeluarkannya Supersemar, tampuk kekuasaan pemerintahan Indonesia berpindah dari tangan Soekarno ke Soeharto. Sejak itu diberlakukan pemerintahan yang dinamakan Orde Baru (Orde Baru menamakan pemerintahan Soekarno sebagai Orde Lama).   Novel-novel berwacana militer yang terbit pada masa Orde Baru, antara lain, Masa Bergolak (1968; Balai Pustaka) karya MA. Salmoen, Pergolakan (1974; Pustaka Jaya) karya Wildan Yatim, Dari Hari ke Hari (1975; Pustaka Jaya) karya Mahbub Junaidi, Perjanjian dengan Maut (1976; Pustaka Jaya) karya Harijadi S. Hartowardjojo, Maut dan Cinta (1977) karya Mochtar Lubis; Tunas-Tunas Luruh Lagi Tumbuh (1977) karya Canny R Talibonso; Tuyet (1978; Gramedia) karya Bur Rasuanto; Dan Perang pun Usai (1979; Pustaka Jaya) karya Ismail Marahimin; Si Bongkok (1981; Gramedia) karya Parakitri; Kubah (1980; Pustaka Jaya) dan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Gramedia) karya Ahmad Tohari; Burung-Burung Manyar (1981; Djambatan) karya YB. Mangunwijaya; Kalah dan Menang (1981) karya STA Lembah Membara (1984; Pustaka Jaya) karya Moerwanto, dan Anak Tanah Air (1985; Gramedia) karya Ajip Rosidi.
Pemerintahan Orde Baru memakai kekerasan terhadap lawan dengan menggunakan ABRI sebagai tiang pokok dukungannya (militeristik). Orde Baru juga mengerahkan negara menjadi alat ampuh untuk menjalankan kebijakan sambil meyakinkan rakyat tentang misinya untuk menjalankan pembangunan otoriter dan menjaga persatuan nasional (Liddle, 2001: 80). Dalam menjalankan pemerintahannya ini, ABRI menjadi salah satu aparat represif atau Represive State Apparatuses (RSAs). Selain itu, Orde Baru juga menggunakan Ideological State Apparatuses (ISAs). Aparat RSAs meliputi polisi, sistem pengadilan, dan tentara, sedangkan ISAs meliputi pendidikan, keluarga, hukum, media, partai politik, sastra, dan seni (Salam, 2004: 15-26). Aparat ISAs pada masa Orde baru berfungsi membimbing kesadaran melalui praktik hegemoni seperti yang dilakukan orde-orde sebelumnya demi mencapai apa yang disebut ‘stabilitas nasional’
Oleh karena novel (karya sastra) merupakan bagian dari ISAs, maka keberadaannya perlu dikendalikan. Secara eksternal, Orde Baru mengendalikan novel-novel dengan menggunakan peralatan RSAs berupa UU, peraturan, dan aparat yang berhak melakukan pembredelan dan pelarangan terhadap sebuah novel yang dianggap membahayakan. Haryanto (1999) mengungkapkan ada beberapa UU yang digunakan untuk melarang sebuah novel, antara lain, UU Antisubversi (UU no.11/63), Haatzai Artikelen dalam KUHP, dan UU Pertahanan Keamanan Negara. Pelarangan tersebut berlaku pada novel-novel yang muatannya dapat mengancam keamanan negara, mengganggu ketertiban umum, dan membahayakan stabilitas nasional.
Secara internal, Orde Baru menanamkan konsensus dalam pikiran sastrawan melalui kerja hegemoni. Keyakinan bahwa keamanan dan ketertiban negara harus dijaga dengan menghindarkan pikiran dan tema-tema subvesif senantiasa ditanamkan dalam pikiran sastrawan. Hal ini penting karena sastrawan dan karya sastra merupakan bagian dari ISAs Orde Baru.
Seperti sudah diungkapkan di atas, bahwa Orde Baru sangatlah militeristik. Militer mendapatkan tempat yang begitu luas sekaligus menjadi alat kekuasaan yang paling diandalkan. Dalam kaitannya dengan karya sastra, militer merupakan lembaga utama yang mempunyai wewenang untuk melakukan pelarangan ataupun pembredelan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain, Kopkamtib, Kejaksaan Agung,  dan kepolisian.
Oleh karena itu, bisa dipastikan kendali Orde Baru ini menghasilkan novel-novel yang kompromis terutama yang berkaitan dengan wacana militer. Novel-novel ini  menghadirkan wacana militer ‘sesuai jalur’ Orde Baru. Secara historis, pada masa Orde Baru militer hampir berada di setiap lini kehidupan masyarakat. Demikian pula yang digambarkan dalam novel-novelnya. Militer adalah pahlawan, pembela rakyat, dan penjaga kedaulatan negara dari pemberontak (terutama PKI). Misalnya, peranan ABRI menumpas PKI dan PRRI dalam novel Pergolakan. Musuh militer adalah musuh rakyat, seperti terlihat dalam novel Si Bongkok, Kubah, dan Dari Hari ke Hari. Menjadi bagian dari militer adalah kebanggaan setiap orang seperti dialami tokoh Muladi dalam Masa Bergolak, seorang insinyur yang rela menjadi tentara untuk membela negara. Militer dihormati banyak orang seperti tokoh Rasus dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Militer mempunyai masa depan yang cerah, kedudukan sosial tinggi di masyarakat, dan lain-lain.
Rasus dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah fenomena paling menarik dan sekaligus paling mewakili gambaran citra militer dalam novel yang sesuai dengan ‘keinginan negara’. Sebelum menjadi tentara, Rasus adalah warga biasa yang miskin dan bodoh. Namun ia memiliki kekaguman luar biasa pada tentara. Bisa berjalan bersama tentara, atau hanya memakai baju bekas mereka adalah suatu kehormatan bagi Rasus (TRDP, 91-92). Tentara hadir di desa Rasus untuk menumpas pemberontak, dan mereka berhasil. Desa menjadi aman kembali. Rasus diajari membaca dan menulis oleh Sersan Slamet, komandan kompi tentara tersebut (TRDP, 93-94). Dapat dikatakan Rasus berguru padanya. Rasus juga menjadi rajin beribadah sejak bergabung dengan tentara-tentara itu. Dari orang yang biasa Rasus menjadi orang yang sangat dihormati. Semua hendak melayaninya.
Jadi, militer dalam novel-novel Orde Baru digambarkan sebagai orang-orang yang nyaris sempurna. Peranannya tidak hanya sekedar pertahanan, tetapi juga secara kemasyarakatan. Tentara—dalam kasus Rasus—menjadikan seseorang sebagai ‘manusia sempurna’, baik secara pendidikan maupun secara spiritual. Dalam hal status tentara sendiri merupakan status yang tinggi, yang dinginkan dan dihormati setiap orang. Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan lain-lain yang menggambarkan militer dengan kriteria-kriteria di atas adalah novel kompromis, novel yang menyesuaikan ceritanya dengan misi negara.
Jika tidak kompromis, maka wacana militer muncul secara simbolis-strategis. Novel-novel simbolis strategis mencoba lepas dari hegemoni namun berusaha menyiasati dengan mewacanakan militer melalui berbagai simbol dalam unsur-unsur intrinsiknya. Selain itu digunakan strategi seperti mengubah latar dan merekayasa tokoh. Novel Tuyet dan Lembah Membara menceritakan otoriter dan kekerasan dalam dunia militer. Namun latar yang digunakan di luar negeri (Vietnam dan Eropa).  Kekerasan militer juga dihadirkan melalui tokoh-tokoh kecil yang tidak penting, jauh dari teritorial pemerintah (penguasa), atau bahkan dihadirkan melalui musuh penguasa.
Baik novel kompromis maupun novel strategis, kedua-duanya merupakan produk pengendalian Orde Baru. Jika disimpulkan, meskipun dalam kurun waktu empat zaman di atas Indonesia menjalankan sistem pemerintahan dengan ideologi, peraturan, kecenderungan, dan kepentingan yang berbeda-beda, tetapi kekuasaan pada empat zaman tersebut memiliki kesamaan dalam hal kendali terhadap novel-novel—yang berarti juga terhadap wacana-wacana militer di dalamnya. Meskipun kriteria-kriteria menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak itu berbeda-beda sesuai dengan ideologi masing-masing zaman, alasan utama mereka tetap sama, yaitu, menjaga ketertiban dan keamanan negara yang berarti untuk menjaga kepentingan penguasa
Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 ditandai dengan reformasi besar-besaran dalam sistem pemerintahan dan perundang-undangan. Salah satunya adalah penghapusan UU Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan  Subversi melalui PUU No.26 tahun 1999. Penghapusan undang-undang ini menjadi semacam gerbang kebebasan. Novel-novel yang selama masa-masa sebelumnya dilarang kemudian diterbitkan dan beredar bebas di pasaran. Wacana-wacana militer yang dulu tidak diceritakan mendapatkan tempatnya kembali.
Terjadi perubahan mekanisme produksi wacana militer. Militer yang dulu dianggap sebagai pahlawan, guru, orang terhormat, bahkan dalam taraf tertentu seperti kiai, berubah menjadi orang yang gampang membunuh, suka menculik, penyebar kebohongan, korupsi dan sebagainya. Ayu Utami dalam kedua novelnya, Saman (1998) dan Larung (2001) memaparkan dengan jelas bagaimana militer memiliki otoritas penuh untuk menuduh seseorang adalah musuh negara. Dalam Saman militer sebagai aparat keamanan bebas melakukan pembunuhan terhadap seseorang hanya lantaran dicurigai mengajarkan paham komunisme di Indonesia. Sementara itu, Larung menceritakan bagaimana militer sebagai intelejen negara telah menyebarkan ingatan palsu/buatan kepada masyarakat tentang peristiwa G30S PKI
Intrik politik dan kekerasan yang dilakukan oleh militer di Penjara Nusakambangan, Penjara Sukamiskin, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Kuil Yasukuni Tokyo, hingga ke Hiroshima, Kamp Konsentrasi Nazi Sachsenhausen dan Holocaust Memorial Berlin diungkap dengan jelas dalam novel Bulan Jingga dalam Kepala (2007) karya Fadjroel Rachman. Penculikan militer terhadap mahasiswa dan orang-orang yang dianggap berbahaya juga dipaparkan dalam novel Epigram (2005) karya Jamal. Nada-nada sejenis tentang militer juga dipaparkan oleh novel-novel lainnya.
Namun, perlu diketahui bahwa militer yang diceritakan lebih terbuka dalam novel-novel pasca Orde Baru adalah gambaran militer masa lalu (khususnya militer masa Orde Baru). Sampai tahun 2009 ini berdasarkan penelusuran penulis, wacana militer pasca Orde Baru tidak diceritakan dalam novel-novel. Hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, berbagai tekanan dan pengendalian yang ketat dari negara pada masa Orde Baru membuat sastrawan tak bisa menceritakan militer dengan bebas. Hal itu baru bisa dilakukan setelah Orde Baru runtuh.
Kedua, perlu diperhatikan bahwa keruntuhan Orde Baru ditandai oleh reformasi besar-besaran terhadap berbagai konsep, kebijakan, ataupun undang-undang. Salah satunya adalah penghapusan Dwi fungsi ABRI. Hal ini disambut baik oleh seluruh masyarakat karena selama ini Dwi Fungsi ABRI merupakan payung hukum bagi militer untuk melakukan berbagai tindakan yang dirasa masyarakat telah melampaui hak-hak dan kewajibannya. Implikasi lain yang lebih penting adalah adanya harapan dan kepercayaan baru terhadap militer dari kalangan sipil, termasuk sastrawan. Berbagai perubahan dan reposisi militer dalam negara menjanjikan citra yang lebih baik bagi diri militer sendiri. Oleh karena itu sastrawan merasa tidak lagi berkepentingan mendiskreditkan militer melalui karya-karyanya. Jika pada waktu-waktu kemudian militer diceritakan dalam novel, maka tidak menutup kemungkinan militer akan dicitrakan lebih baik daripada wacana-wacana yang sudah lebih dulu muncul.

KESIMPULAN
Aspek militer telah diwacanakan dalam novel-novel Indonesia dari mulai Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli hingga Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami. Negara dalam hal ini berperan penting menggiring wacana-wacana militer tersebut. Novel tidak dibiarkan mewacanakan sesuatu—dalam hal ini militer—di luar garis yang telah ditentukan olehnya. Padahal dalam kenyataan, militer dengan  kedudukannya yang begitu kuat dapat dipersamakan dengan negara itu sendiri. Jadi, citra militer yang tampak pada novel-novel dari masa pemerintahan Belanda hingga Orde Baru dalam beberapa aspek menunjukkan adanya kesamaan. Militer yang baik adalah militer negara. Militer yang melindungi rakyat, penuh sopan-santun, dan berbudi. Militer yang tidak baik bukan militer negara. Mereka adalah musuh yang harus dihancurkan.
Terlepas dari semua itu, wacana yang satu selalu hadir secara berdampingan dengan wacana yang lain. Bukan dalam bentuk dikotomi sederhana melainkan lebih rumit. Wacana-wacana tersebut saling bertanding. Demikian pula wacana militer dalam karya sastra. Sastrawan seperti halnya kaum sipil lainnya juga merasakan dinamika hubungan sipil dan militer yang dalam banyak hal selalu dipertentangkan ataupun saling mempertentangkan diri. Namun, sekali lagi karena militer begitu kuasanya, maka  wacana-wacana tandingan tersebut menjadi terkalahkan atau tersembunyi.
Wacana-wacana militer yang tersembunyi ini mendapatkan tempatnya kembali ketika kekuasaan Orde Baru runtuh. Seiring berjalannya waktu, dikotomi sipil dan militer pun mulai mencair. Bukan hanya karena berbagai perbaikan dalam sistem negara yang berkaitan dengan militer, namun juga niat dalam diri militer sendiri untuk memperbaiki dan memposisikan kembali pada fungsi hakikinya sebagai alat pertahanan negara.


Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.
Finer, SE. 1962. The man On Horseback: The Role of the Military in Politics. New York, N.Y: Frederick A. Praeger.
Haryanto, Ignatius. 1999. Kejahatan Negara, Telaah tentang Penerapan Delik Keamanan Negara. Jakarta: ELSAM
Jaringan Kerja Budaya (JKB). 1999. Menentang Peradaban, Pelarangan Buku di Indonesia. Jakarta: ELSAM
Kahin, Audrey dan George McTurnan Kahin. 1997. Subversi sebagai Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Press
Jassin, HB. 1975.  Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka
Muhaimin, Yahya A. 2002. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Liddle, R. William. 2001. “Rezim Orde Baru” dalam Indonesia Beyond Soeharto. Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Donald K. Emmerson (ed). Jakarta: Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam, Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKiS
Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: penerbit Alumni

Novel-Novel
Halim, Karim. 1944. Palawija. Jakarta: Balai Pustaka.
Iskandar, Nur St. 1984. Hulubalang Raja (Cet. 8). Jakarta: Balai Pustaka
Iskandar, Nur St. 1963. Cinta Tanah Air (Cet. 4). Jakarta: Balai Pustaka
Jamal. 2005. Epigram. Jakarta: Gramedia
Juwono, Trisno. Pagar Kawat Berduri. Jakarta: Djambatan
Lubis, Mochtar. 1952. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Balai Pustaka
Moerwanto. 1984. Lembah Membara. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rachman, Fadjroel.2007. Bulan Jingga dalam Kepala. Jakarta: Gramedia
Rasuanto, Bur. 1978. Tuyet. Jakarta: Gramedia
Rusli, Marah. 1990. Sitti Nurbaya (cet.20). Jakarta: Balai Pustaka
Salmoen, MA. 1964. Masa Bergolak. Jakarta: Balai Pustaka
Sati, Tulis Sutan. 1972  Sengsara Membawa Nikmat (Cet. 2). Jakarta : Balai Pustaka
Toer, Pramoedya Ananta. 1952. Perburuan (cet.2). Jakarta: Balai Pustaka
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk (Trilogi, Cet.2). Jakarta: Gramedia
Utami, Ayu. 2002. Saman (cet.20). Jakarta: KPG
Utami, Ayu. 2002. Larung (cet.2). Jakarta: KPG
Yatim, Wildan. 1974. Pergolakan. Jakarta: Pustaka Jaya.





[1] Mahasiswa S-1 Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
[2] Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar