Kamis, 19 April 2012

Kajian Sastra Modern Indonesia


MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI
KAJIAN SASTRA MODERN INDONESIA[1]

Oleh Aprinus Salam[2]

            Cerita fiksi adalah sebuah wacana karena ditulis dengan maksud dan tujuan tertentu, dikemas dengan cara dan dalam cara bercerita tertentu. Namun demikian, sebebas apapun ruang yang disediakan oleh fiksi, kehadirannya tidak membebaskan cerita dari suatu konteks wacana dan kesejarahannya.

            Fiksi hadir  berkat dan dalam satu konteks pengaturan wacana (historis) sehingga setiap konteks wacana melahirkan cerita fiksi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu berkaitan dengan tema, gaya penceritaan, penokohan, latar penceritaan, sudut pandang penceritaan, dan sebagainya. Siti Nurbaya dan Azab dan Sengsara hadir sesuai dengan konteks historis yang melingkunginya, pada tahun-tahun 1920-an, satu kontektualisasi yang kemudian disebut sebagai periode Balai Pustaka. Demikian pula halnya dengan cerita-cerita fiksi pada tahun 1980-an, muncul karena adanya tuntutan keadaan pada waktu-waktu itu.

Dalam konteks sosial-politik tahun-tahun 1980-an dan hingga 1990-an, saat kekuasaan Orde Baru berada dalam posisi yang hegemonik, kesusastraan di Indonesia mengalami kegairahan dengan munculnya sejumlah novel dengan nuansa Jawa, atau paling tidak novel yang ditulis oleh orang Jawa dalam bahasa Indonesia, suatu hal yang secara mudah dapat diketahui oleh mereka pembaca awam.

Fenomena tersebut terbukti dengan munculnya sejumlah novel berbahasa Indonesia yang ditulis pengarang Jawa seperti akan dibicarakan kemudian. Kegairahan tersebut dapat ditafsirkan dalam berbagai cara dan tidak semata-mata dianggap sebagai bentuk resistensi dari sekelompok masyarakat, utamanya para sastrawan, terhadap kekuasaan Orde Baru. Paling tidak kegairahan novel berwarna lokal dengan variabel wacana (cerita) yang dimobilisasi dalam novel tersebut, memberi perimbangan wacana, sebagai siasat tekstual, terhadap dinamika dalam formasi kultural dan politik, ataupun secara internal terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kompleksitas permasalahan yang meliputi hal-hal tersebut tentulah cukup beragam dan sangat mungkin perspektif analisis tertentu memberikan analisis yang berbeda terhadap kecenderungan umum, baik pada tingkat kategori maupun variabel-variabel lain yang ikut mempengaruhi analisis tersebut. Latar politis tersebut secara keseluruhan dianggap berpengaruh terhadap dinamika dan perkembangan kesusastraan Indonesia.

Pilihan terhadap rentang tahun-tahun tersebut merupakan pilihan yang dianggap strategis. Pertama, tahun-tahun tersebut merupakan tahun-tahun ketika pemerintahan Orde Baru  berposisi sangat kuat berhadapan dengan masyarakat. Rezim Orde Baru memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengontrol sepak terjang dan segala prilaku masyarakat, bahkan hingga tingkat tertentu negara mampu mengontrol atau mengatur daya imajinasi para penulis sastra. Pilihan tersebut sekaligus menempatkan karya sastra sebagai sesuatu yang hadir berkat dan di dalam lingkungan sosial-politiknya.

Kedua, pada tahun-tahun tersebut sastra novel mengalami kegairahan dengan munculnya sejumlah novel yang menarik perhatian masyarakat. Memang, kecenderungan itu, yang kemudian disebut dengan merebaknya “warna lokal” secara relatif muncul dari beberapa lokal di Indonesia, Akan tetapi, dominasi novel dengan sensivitas lokal Jawa dianggap mendominasi kesusastraan Indonesia. 

Sesuai dengan karakternya, secara imajinatif novel memiliki kemampuan yang luas dalam menceritakan seluk beluk kehidupan sosial (masyarakat) sehingga dalam hal ini novel ditempatkan sebagai cermin masyarakat, dan realitas fiksi secara signifikan dapat diacukan pada realitas atau peristiwa sosial-politik dalam masyarakat. Dengan demikian, pembicaraan tidak hanya mengeksplorasi sesuatu yang bersifat endoforis, dunia internal yang dibangun di dalam novel, kajian ini merefleksikannya pada sesuatu yang eksoforis, yakni suatu kajian yang mengaitkannya dengan dunia eksternal di luar dunia yang dibangun oleh fiksi. 

Ketiga, berkaitan dengan hal pertama dan kedua, kajian ini memfokuskan kajiannya pada aspek dan dimensi sosial-politik fiksi. Pilihan terhadap persoalan itu berkaitan dengan kondisi-kondisi dalam masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa. Paling tidak terdapat dua keadaan pada tahun-tahun tersebut.

(1)       Dalam cara yang sangat terkontrol pemerintahan Orde Baru cukup sukses dalam membangun perekonomian Indonesia. Berkat kesuksesan tersebut Indonesia mengalami perubahan sosial yang deras dalam segala sisi-sisi kehidupan. Indonesia memasuki satu fase yang disebut masyarakat modern dan rasional. Perubahan sosial tersebut melahirkan keretakan, kegelisahan, kegagapan, dan kemiskinan pada sekelompok masyarakat yang tidak siap dalam menghadapi perubahan tersebut. Akan tetapi, sebaliknya, mendatangkan kemudahan, kesenangan, dan peluang-peluang ekonomi dan politik bagi sekelompk kecil masyarakat.
(2)       Keadaan lain yang juga sangat dirasakan adalah mulai menumpuknya kekecewaan masyarakat kepada pemerintahan Orde Baru dalam membangun dan menjalankan kehidupan politik nasional, yang secara luas berimplikasi pada kehidupan sosial-politik lokal. Kekecewaan-kekecewaan tersebut turutama menumpuk dikarenakan kehidupan demokrasi yang dipasung, kesewenang-wenangan merajalela, sebagian besar kebenaran hukum tidak berjalan, dan sebagainya.
           
            Terdapat tiga latar lain yang penting mengapa politik cerita dengan nuansa lokal Jawa novel-novel tahun 1980-an hingga 1990-an menjadi penting untuk dikaji.

            (1) Pada awal pertumbuhan kesusastraan Indonesia, tepatnya pada periode Balai Pustaka, kesusastraan Indonesia didominasi oleh pengarang-pengarang Sumatra (Barat). Hal itu dapat dimaklumi mengingat pengarang Jawa, pada waktu itu, masih mengalami "keterbatasan kebiasaan" dalam mengemukakan gagasan atau cerita dalam bahasa Indonesia (Melayu). Pada awalnya, terdapat sejumlah pengarang Jawa yang sudah mulai menulis prosa (novel) dalam bahasa Indonesia, katakanlah karya-karya Tirtoadhisoerjo dan Marco Kartodikromo. Karya kedua sastrawan tersebut mendapat respons keras dari pemerintah kolonial dan menganggap karya tersebut sebagai "bacaan liar."

            Dalam sejarah Orde Baru, dengan cara yang lebih keras, kekuasaan Orde Baru bahkan melarang sejumlah buku sastra beredar, terutama karya-karya Ananta Toer (lihat Haryanto, 1999, khususnya hlm, 98-99), atau bagaimana ketakutan pemerintah terhadap Wiji Thukul, dan sejumlah sastrawan lainnya yang mendapat cegah tangkal. Peristiwa itu membenarkan dugaan Foucault bahwa karya sastra telah memulihkan kembali bahasa dari sekadar tatabahasa menjadi kuasa tutur yang transparan, makhluk yang tidak terjinakkan, dan penuh kuasa (Foucault, 1977: 300). Akan tetapi, yang ingin ditegaskan adalah bahwa secara kuantitatif pada waktu keberadaan pengarang Jawa tidak sedominan pengarang Sumatra Barat. Itu pula sebabnya, kajian-kajian pada periode tersebut sebagian besar membicarakan novel-novel yang ditulis oleh pengarang Sumatra (Barat).
           
            (2) Kajian-kajian kesusastraan sebagai dan dalam fenomena ataupun perspektif politik cerita masih dirasakan minimal. Seperti telah disinggung, ada beberapa situasi yang berpengaruh terhadap kajian kesusastraan pada waktu itu, dan dalam beberapa hal masih dapat dirasakan hingga waktu-waktu kemudian. Di antaranya, pertama, situasi teori dan kritik kesusastraan itu sendiri. Sebagai mana diketahui, teori dan kritik sastra di Indonesia, khususnya sebelum tahun 1980-an, belum memberikan bentuk yang cukup kokoh sebagai satu tradisi kritis dalam kajian kesusastraan Indonesia. Itu pula sebabnya, tidak mengherankan, terdapat sejumlah kerancuan dalam melihat fenomena perkembangan dan dinamika kesusastraan Indonesia. Kerancuan tersebut terdapat pada pencampuran kesan-kesan subjektif yang berpretensi besar untuk menghakimi dan menilai mutu karya sastra berhadapan dengan tuntutan objektif teori sastra struktural objektif yang pada waktu itu mendominasi teori dan kritik sastra Indonesia. Analisis terhadap situasi itu secara cukup komprehensif dapat dilihat dalam Pradopo (2003).
           
            (3) Sejumlah pembicaraan tentang perkembangan dan dinamika kesusastraan Indonesia menempatkan objek kajian kesusastraan sebagai representasi kesusastraan Indonesia, dengan mengabaikan perspektif lokalisasi budaya tertentu dan mengabaikan keunikan sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia. Setiap novel yang hadir merupakan representasi dari ke-Indonesia-an. Padahal, dalam praktiknya, setiap masyarakat mengalami lokalisasi dan pengalaman yang berbeda-beda, sesuai dengan praktik-praktik budaya yang dihadapi sehari-hari, misalnya saja dalam hal melihat dan merespons hal-hal yang berkaitan dengan makna perubahan sosial. Hal ini, tidak hanya memperlihatkan dominasi perspektif teori sastra yang sedang berkembang pada waktu itu, tetapi kontrol dan tuntutan wacana yang diproduksi dan direproduksi negara untuk menafikan lokal-lokal sebagai perbedaan tampaknya cukup dirasakan.[3]
           
            Kondisi lain yang ikut menentukan tradisi kajian sastra Indonesia pada waktu itu adalah situasi sosial-politik. Pembicaraan tentang kesusastraan Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan, secara umum disemangati oleh cita-cita nasional berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, dan dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Semangat berbangsa satu, bertanah air satu, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia tersebut masih terbawa-bawa hingga setelah periode kemerdekaan. Itu pula sebabnya, karya sastra yang berbahasa Indonesia secara otomatis adalah representasi Indonesia, dengan mengabaikan kemungkinan bahwa setiap karya sastra memberikan wacana tersendiri yang khas pada dirinya, semisal jika karya tersebut ditulis oleh orang Jawa, pastilah berbeda dengan karya sastra yang ditulis oleh orang Minang, orang Dayak, walaupun sama-sama dalam bahasa Indonesia.
           
            Akan tetapi, perlu diakui bahwa kajian ini tidak berpretensi membandingkan "suara-suara lokal" yang berbeda-beda antara satu praktik budaya dengan budaya lain dalam masyarakat Indonesia. Kajian ini berpretensi berdasarkan asumsi teoretis bahwa pengalaman sosial dan budaya, juga pengalaman inklusif terhadap karya sastra, selayaknya dipandang sebagai keunikan yang perlu diakui sebagai perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut meliputi pengalaman berbahasa (Indonesia), tradisi seni-sastra, dan sejumlah peristiwa sosial dan politik, dengan intensitas dan kualitas tertentu, tidak dapat disamakan begitu saja antara satu wilayah budaya dengan wilayah budaya yang lain. Artinya, seperti telah disinggung, kajian ini secara langsung telah menyarankan bahwa karya sastra yang akan dibicarakan adalah karya sastra (novel) yang ditulis orang Jawa.

            Namun, perlu dijelaskan bahwa hadirnya istilah orang Jawa tidak dimaksudkan sebagai substansi kajian. Penjelasan tersebut dilihat sebagai satu pembatasan masalah belaka. Paling tidak asumsi tersebut didukung karena Jawa, dan khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta, adalah satu wilayah sosial, kultural yang berbeda dibanding wilayah mana pun di Indonesia. Perbedaan utama yang dilihat lebih dalam dinamika perkembangan wacana-wacana sosial, politik, dan kebudayaan.
           
            Dalam sejarah sosial dan politik Jawa merupakan salah satu tempat kegiatan politik dan pendidikan yang penting. Di samping jumlah penduduk Jawa yang meliputi lebih kurang 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia, peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan proses-proses perjuangan menuju nasional Indonesia banyak terjadi di Jawa (Ricklefs, 1998). Informasi ringkas tersebut hanya ingin mengatakan sejauh mana dinamika dan peran intelektual, kultural, dan politik yang pernah dimainkan oleh orang (pengarang) Jawa, baik pada tingkat individual maupun masyarakat.

            Sejauh yang dapat dicatat, pengarang Jawa, dalam rentang waktu yang cukup panjang, telah memberikan sumbangan yang cukup penting bagi khazanah sastra modern Indonesia. Hal itu dapat diketahui dari banyaknya sastrawan dan penyair yang bermunculan di Jawa, terutama setelah 1960-an, dan lebih khusus setelah 1970-an, dan telah ikut meramaikan khazanah sastra Indonesia. Fokus kajian disertasi ini adalah mengkaji kontribusi pengarang Jawa berbahasa Indonesia dalam relasi dan lingkaran kekuasaan Orde Baru. 
           
            Dalam penjelasan lain, para pengarang ketika menulis sebuah karya sastra, khususnya prosa novel, mencoba mewacanakan sesuatu yang disampaikan dalam narari-narasi cerita. Hadir atau munculnya sebuah teks sastra, merupakan hasil dari sebuah proses panjang, rumit, dan kompleks. Proses tersebut melibatkan berbagai aspek, yang setiap aspeknya merupakan satu variabel yang jalin menjalin, jaring-menjaring dengan berbagai aspek lain hingga dalam batas-batas tertentu penting untuk diinterpretasikan lebih jauh. Aspek-aspek yang perlu diperhitungkan antara lain konteks wacana yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, situasi-situasi dan kondisi yang mendeterminasi penulisan teks sastra (baik lokal, nasional, ataupun global), dan mekanisme dan apresisasi terhadap wacana yang dimobilisasi oleh negara.

            Sejumlah kajian kesusastraan setelah kemerdekaan, terbagi ke dalam tiga kecenderungan. Pada awalnya, semangat nasionalisme dan eforia kemerdekaan tampaknya mendominasi ulasan. Hal tersebut tampak pada tulisan-tulisan Rosidi (1964, 1969) dan Jassin (1968, 1985, 1985a, 1985b, 1985c). Akan tetapi, kedua, pada tahun 1960-an wacana pembicaraan kesusastraan bergeser dalam perspektif politik dan ideologi yang berpuncak pada perseteruan Kelompok LEKRA dan Manifes Kebudayaan. Di satu pihak yang pertama mencoba mendayagunakan kesusastraan sebagai alat perjuangan politik, dan hal kelompok kedua adalah mecoba mewacanakan seni atau sastra sebagai alat perjuangan humanisme universal.

            Ujung dari perdebatan tersebut sangat ditentukan oleh kondisi makro politik Indonesia dengan kemenangan Orde Baru sehingga LEKRA yang berafiliasi pada politik Soekarno (pemimpin Orde Lama) secara relatif terpendam atau terkubur. Seperti diketahui, wacana makro politik Indonesia yang dibangun Orde Baru tidak jauh bergeser dari kecenderungan "politik adalah panglima", sehingga wacana kritisisme sastra Indonesia seperti memiliki keengganan, atau bahkan semacam trauma, untuk merelasikan secara bermakna antara dimensi-dimensi kesusastraan dengan persoalan-persoalan politik.
           
            Dalam perkembangan lebih lanjut, sejumlah kajian telah memperlihatkan kecenderungan sosiologis dan politis seperti tampak pada kajian Watson (1972), Junus (1974), Foulcher (1991/1980), Anderson (1996), Faruk (2003/1994), Hellwig (1994), dan Allen (2004). Watson (1972), misalnya, mengkaji novel-novel Indonesia tahun 1920 hingga 1955 dalam kerangka Lukacs dan Goldmann. Kajian Watson termasuk yang cukup komprehensif, walaupun tidak berpretensi atau tidak menempatkan kompleksitas varibel-veriabel kultural yang berbeda-beda dalam masyarakat Indonesia sebagai sesuatu yang memberikan keunikan.

            Junus (1974) membicarakan perkembangan novel-novel Indonesia juga dalam kerangka teori strukturalisme-genetik Goldmann dengan beberapa reduksi sehingga yang tertangkap justru aspek formal karya sastra. Foulcher (1991/1980) termasuk pengkaji yang ketat dalam membahas materi formal kajiannya, walaupun tidak secara eksplisit mendeskripsikan kerangka teorinya, pembatasan masalah hubungan dan perkembangan nasionalitas dalam karya sastra periode Pujangga Baru, tulisan Foulcher memberikan informasi yang menarik berkaitan dengan hubungan sosial dan ideologis antara Pujangga Baru dengan gerakan-gerakan nasionalis dan nasionalisme Indonesia.
           
            Kajian Foulcher (1988) melihat kecenderungan umum sejumlah karya sastra Indonesia setelah  setelah 1965 tanpa membedakan konteks asal usul pengarang. Kajian Foulcher melihat fenomena dan dimensi politis dan simbolis karya-karya Danarto, Bachri, Rendra, dan persoalan sastra kontekstual sebagai peristiwa nasional sastra dalam tekanan politik Orde Baru. Dalam kerangka analisisnya, Foulcher tidak melihat kekhususan-kekhususan per karya, dalam dimensi dan kondisi yang berbeda, sehingga tidak mempersoalkan kemungkinan bahwa setiap wilayah geo-kultural di Indonesia, dalam derajat dan intensitas yang berbeda, memberikan muatan signifikasi yang berbeda-beda pula terhadap berbagai kecenderungan yang sedang terjadi. Secara gamblang hal tersebut diperlihatkan dalam sejarah politik, ekonomi, dan kultural di Indonesia, bahwa perilaku politik dan kondisi-kondisi material atas dominasi dan hegemoni negara terhadap masyarakat, mulai dari zaman pemerintah kolonial hingga pemerintah Orde Baru, antara di Sumatra dan Jawa misalnya, secara praksis terdapat perbedaan yang cukup substansial.
           
            Dalam sebuah kajiannya, Faruk (2003/1994) membahas tradisi (genesis) novel-novel Balai Pustaka (1920-1942) secara semiotik dan sosiologis, juga dalam asumsi bahwa tradisi Balai Pustaka sebagai tradisi penulisan novel awal Indonesia. Seperti kecenderungan besar lainnya, Faruk tidak membicarakan dan mempersoalkan mengapa pada waktu itu sebagian sastrawan dan dan novel ditulis oleh orang Sumatra Barat. Kajian ini terutama mengkaji dan mencari, dalam perspektif Goldmann, pandangan dunia pengarang-pengarang yang disebut dengan tradisi Balai Pustaka, bertradisikan romantisisme. 

            Walaupun Faruk telah melepaskan dirinya dari dominasi teori sastra struktural objektif, pilihan masalah dan kerangka teori yang dipakai Faruk tidak bermaksud menjelaskan proses-proses kehadiran sebuah karya sastra sebagai hasil proses internal kedaerahan masing-masing. Sementara itu, Hellwig (1994) dalam kerangka teori sosiologi-feminis tetap terperangkap untuk memukul rata citra wanita Indonesia dalam sejumlah novel Indonesia, tanpa upaya mengklarifikasi perbedaan-perbedaan kultural yang secara signifikan membedakan citra tersebut untuk setiap lokal-lokal kebudayaan. Satu hal yang perlu dicatat, kajian-kajian yang disinggung di atas, membuka peluang untuk melihat jalinan-jalinan lokalisasi kultural sebagai bagian penting produksi teks sastra.
           
            Arah untuk mengkaji aspek-aspek yang lebih spesifik berkaitan dengan lokalisasi budaya tertentu, berkaitan dengan dan dalam konstelasi politik nasional bukan berarti sama sekali tidak ada. Pada tahun 1980-an, dan khususnya pada tahun 1990-an, semangat dan perkembangan teoretis kajian kesusastraan Indonesia semakin beragam dan kompleks. Pada tahun 1984-1985, sebagai akibat pengaruh relativitas keilmuan, muncul upaya teoretis dan kontekstualisasi karya sastra. Isu ini secara hampir bersama-sama dipelopori oleh Budiman (1984) dan Heryanto (1985), dengan upaya teoretisasi sastra kontekstual. Dalam kenyataannya, kajian sastra kontekstual mendapat sanggahan dari berbagai pihak (Foulcher, 1988: 26-27. Perdebatan tersebut berhenti di tengah jalan, dan tidak lebih menjadi satu tahap historis dari kompleksitas situasi sastra Indonesia.
           
            Tahap sastra kontekstual secara simultan diikuti oleh perdebatan (seminar) mengenai teori dan kritik sastra dengan perhatian pada kehadiran warna lokal, dan pada tahun 1987, Fakultas Sastra UGM menyelenggarakan seminar tersebut. Walaupun dalam beberapa hal seminar tersebut membuahkan beberapa pemikiran tentang makna kehadiran unsur lokal dalam karya sastra, tetapi dalam banyak hal yang lain, seminar itu tidak memfokuskan dirinya pada satu kajian lokal tertentu sehingga kerangka nasional masih mendominasi gagasan-gagasan yang muncul dalam seminar tersebut. 

            Pada tahun berikutnya, 1988, sebagai kelanjutan dari kegiatan akademis tersebut, di Padang diselenggarakan seminar mengenai teori dan kritik Indonesia yang relevan.  Perdebatan tersebut merupakan upaya lebih "membumikan" teori dan kritik sastra Indonesia, dan sebagai implikasinya diharapkan menjadi lebih sesuai jika dipraktikan dan berhadapan dengan karya sastra Indonesia. Dari sejumlah makalah yang dieditori Esten dalam Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (1988), terdapat makalah Umar Kayam yang secara spesifik berbicara tentang "keterbatasan" pengarang Jawa menulis novel dalam bahasa Melayu (Indonesia).

"Pada waktu para penulis susastra mulai menulis dalam bahasa Indonesia, jelas betul mereka yang datang dari kawasan budaya Melayu memimpin perkembangan baru tersebut. Baik pada penulis Balai Poestaka maupun Poejangga Baroe adalah "orang Soematra" yang berbahasa ibu Melayu. Dalam kelompok Poejangga Baroe, misalnya, hanya ada seorang Jawa yang menulis dalam bahasa Melayu tinggi, yaitu Soetomo Djauhar Arifin yang menghasilkan roman Andang Taruna. ... Perbandingan tersebut dapat dipahami apabila diingat bahwa di kawasan budaya seperti Sunda, Jawa, dan Bali, misalnya, suatu tradisi susastra dalam bahasa kawasan telah hadir dalam kurun waktu yang panjang, bahkan sudah mengakar sebagai suatu tradisi. ..." (1988: 119-120).

            Dugaan Kayam tentu sangat beralasan. Sebelum tahun 1950-an, secara internal kesastraan, berdasarkan kajian Hutomo (1975), Quinn (1992), ataupun Damono (2000), pengarang Jawa sebagian besar masih menulis dalam bahasa Jawa (Bdk. dengan M.C. Ricklefs, 1998: 80-81). Dari karya para peneliti tersebut dapat disimpulkan bahwa perhatian pengarang sastra berbahasa Jawa pada masalah-masalah mistisisme Jawa cukup tinggi.

            Akan tetapi, seperti disinyalir oleh J.J. Rass (1985), kualitas sastra Jawa modern dapat dikatakan rendah. Banyak pengarang Jawa yang berbakat pada masa-masa setelah 1950-an, dan terutama 1960-an mulai menulis dalam bahasa Indonesia. Mereka yang mulai menulis pada tahun 1950-an, seperti Sri Murtono, Rendra, Umar Kayam, D. Suradji, Subagio Sastrowardoyo, Kirjomulyo, tampak memberikan kecenderungan mistik Jawa terutama dengan referensi wayang (Soemargono, 1983: 156-179).[4] Dalam situasi tersebut, suatu kajian yang mencoba mengkaji perkembangan dan dinamika sastra modern berbahasa Indonesia pada lokal-lokal tertentu menjadi sangat penting. Akan tetapi, berbeda dengan wacana kesusastraan dalam kerangka geografi dan nasional Indonesia, sastra modern berbahasa Indonesia yang ditulis pengarang-pengarang Jawa mulai mengalami kegairahan penting terutama setelah tahun-tahun 1960-an akhir, dan terutama pada tahun 1980-an.
            Di depan disinggung bahwa ada kemungkinan pengarang Jawa lebih sukar "ditertibkan" oleh negara (pada masa kolonial), sehingga muncul istilah "bacaan liar". Pada masa awal sastra Indonesia, bagi kaum pergerakan, bacaan merupakan alat penyampaian pesan dari orang-orang atau organisasi pergerakan kepada kaum kromo (rakyat). Ada dua tahapan "proses" bacaan di Hindia Belanda. Pertama, bacaan yang dicetak oleh orang-orang peranakan Belanda dan Tiong-hoa yang memiliki rumah cetak dan surat kabar. Teks bacaan yang diproduksi dimulai dengan terjemahan novel-novel fiksi Eropa, seperti karya Robinson Cruso dan Jules Vernes, yang masing-masing diterjemahkan oleh F. Wigeers dan Lie Kim Hok. Kemudian ditambah dengan terjemahan fiksi-fiksi populer di antaranya Hikayat Sultan Ibrahim, Hikayat Amir Hamzah, dan hikayat Jan Pieterzooncoen. Cerita-cerita itu disebarkan melalui berbagai surat kabar. Selanjutnya, bacaan-bacaan ini juga diterbitkan dalam bentuk buku oleh H.C. Klinkert dan A.F. von de Wall.
           
            Tahap kedua adalah bacaan-bacaan yang ditulis oleh orang bumiputra pada awal abad ke-20. Yang menarik dari perkembangan produksi bacaan yang dilahirkan oleh orang-orang bumiputra adalah penggunaan "Malayu Pasar, yang rupanya mengikuti para pendahulunya, golongan Indo dan Tionghoa peranakan. Perkembangan produksi bacaan bumiputra sangat didukung dengan meriapnya industri pers pada awal abad ke-20.

            Dalam hal itu, golongan bumi putra yang dianggap perintis fiksi modern adalah R.M. Tirtoadhisoerjo, dengan karyanya Doenia Pertjintaan 101 Tjerita jang soenggoe terjadi di Tanah Priangan, terbit pada tahun 1906. Kemudian disusul dengan karya lain; Tjerita Njai Ratna (1909), Busono (1912). R.M. Tirtoadhisoerjo juga banyak menerbitkan tulisan nonfiksi. Tulisan Tirtoadhisoerjo mendorong penulis berikutnya, yaitu Marco Kartodikromo, Soeardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen, Darsono, dan sebagainya. Mereka banyak menghasilkan bacaan-bacaan populer yang terutama ditujukan untuk mendidik bumiputra yang miskin (kromo). Kejadian itu hanya memperlihatkan bahwa sejak awal novel Indonesia yang ditulis pengarang Jawa sudah sangat berpretensi politis (Raziz, 2002. Bdk. dengan Toer, 1982: 1-16).

Sementara itu, Anderson (1996) melihat bahwa pengarang Jawa menulis prosa dalam bahasa Indonesia, khususnya kajian Anderson terhadap karya sastra Pramudya Ananta Toer, dilihat sebagai perlawanan internal dan pembebasan terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa yang mengalami krisis berhadapan dengan bahasa Indonesia yang didukung oleh negara. Di samping itu, Anderson juga melihat bahwa konversi pengarang Jawa ke bahasa Indonesia sebagai strategi untuk merebut pembaca berbahasa Indonesia yang semakin luas. Akan tetapi, pilihan dan kesukaan Anderson terhadap karya-karya Toer sedikit banyak terasa agak mencurigakan. Hal tersebut terjadi sebagai sikap perlawanan subjektif Anderson terhadap kekuasaan Orde Baru yang tidak menyukai Anderson.
           
            Dalam beberapa hal, perlu diakui bahwa tampaknya kajian Allen (2004) merupakan kajian yang memiliki kedekatan tertentu dengan kajian yang akan dijelaskan dalam disertasi ini. Allen, dalam paradigma analisis teori tanggapan-pembaca, estetika resepsi dan interpretasi-politis, mengkaji karya-karya Ananta Toer, Mangunwijaya, dan Putu Wijaya. Allen secara luas mencoba mengeksplorasi suara-suara "ekstrinsik" konteks fiksi Indonesia 1980-1995 berhadapan dengan konteks historis sejarah sosial Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru. Hal yang diharapkan akan sangat membedakan dengan kajian ini adalah, pertama, bahwa Allen bertindak sebagai pembaca dari luar Indonesia yang berangkat dari asumsi bahwa fiksi Indonesia secara signifikan merupakan respons penting terhadap berbagai fenomena ekstriksik penciptaan fiksi. Kedua, bahwa pendekatan yang dipakai dalam menganalisis novel berbeda, yakni bahwa kajian ini justru menempatkan novel (fiksi) sebagai strategi wacana naratif (politik cerita), sebagai siasat politis berhadapan dengan kontrol negara yang demikian ketat terhadap semua aspek kehidupan kultural dan kesusastraan Indonesia.
           
            Berdasarkan objek material kajian, terdapat sejumlah kajian yang secara langsung atau tidak mengkaji fenomena sastra dan pengarang Jawa, tetapi kajian-kajian itu berdasarkan teks-teks sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa, sebutlah antara lain kajian-kajian Hutomo (1975), Rass (1985), Quin (1995), dan Damono (2000). Para pakar tersebut mengkaji terutama dalam perspektif sosiologi, kecuali Quin yang mempraktikkan teori semiotik dan wacana. Akan tetapi, sebagai fenomena dan teks kesastraan antara teks berbahasa Jawa yang dijadikan kajian oleh para peneliti tersebut, dan teks sastra berbahasa Indonesia dalam kajian ini, tentu saja sudah memperlihatkan sesuatu yang berbeda. Dapat disimpulkan, pengarang sastra berbahasa Jawa pada masalah-masalah mistisisme Jawa cukup tinggi. Akan tetapi, seperti disinyalir oleh J.J. Rass (1985), kualitas sastra Jawa modern dapat dikatakan rendah.
           
            Soemargono (1983) mengkaji kelompok pengarang Yogyakarta tahun 1945-1960. Soemargono berdasarkan tujuh orang sastrawan Yogya yang berkiprah pada kurun waktu tersebut berdasarkan tinjauan sosiologi dengan melihat pengaruh latar penciptaan pengarang terhadap karya-karya pengarang tersebut dan kecenderungan tekstual dan sembolisnya.

            Dalam perspektif yang lebih umum, Mulder (1985), dengan pendekatan antropologi, pernah membicarakan kecenderungan pengarang Jawa yang menulis fiksi dalam bahasa Indonesia. Menurut Mulder pengarang Jawa pada akhir 1970-an hingga 1980-an awal secara umum memberikan kecenderungan pada mistik (Jawa) yang cukup kental. Hal ini tampak pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Diponogoro, Umar Kayam, Harijadi S. Hartowardojo, Mangunwijaya, Darmanto Jatman, Kuntowijoyo, Linus Suryadi AG, Danarto, dan beberapa yang lain. Referensi pengarang tersebut pada umumnya berkisar pada cerita dan mistisisme wayang.

            Akan tetapi, kesimpulan itu tidak cukup memadai mengingat Soemargono dan Mulder tidak secara spesifik menjelaskan kemungkinan pilihan dan wacana mistisisme wayang sebagai strategi wacana berhadapan dengan situasi sosial politik yang berpengaruh pada waktu itu. Kajian itu lebih sebagai upaya identifikasi pemaknaan secara intrinsik terhadap intensi-intensi pengarang.

            Demikian beberapa catataan tentang perkembangan kajian sastra modern Indonesia.

Daftar Pustaka

Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi (Re)Interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Anderson, B.R.O'G. 1984. "Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Budaya Jawa", dalam Miriam Budiardjo. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Anderson. Benedict R.O'.G.. 1996. "Sembah-Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa", dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (eds.). Bahasa dan Kekuasaan. Bandung: Mizan.
Budiman, Arief. 1985. "Sastra yang Berpublik", dalam Ariel Heryanto. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual, Jakarta: Rajawali Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Damono, Sapardi Djoko. 1988. "Puisi Kita Kini", dalam Prisma, Jakarta, No. 8 Tahun XVII.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta: Bentang.
Darma, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Emmerson, Donald K. 1978. "The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strenght", dalam Karl D. Jackson dan Lucian W. Pye. Political Power and Communications in Indonesia. Berkeley: University of Calofornia Press.
Eneste, Pamusuk. 1982. Novel-Novel dan Cerpen-Cerpen Indonesia Tahun 70- an. Ende: Nusa Indah.
Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press.
Faruk. 2002. Tradisi Novel-Novel Balai Pustaka 1920-1942. Yogyakarta: Gama Media 
Florida, Nancy K. 1995. Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Durham: Duke Univerisity Press.
Foucault, Michel. 1977. The Order of Things. An Archeology of the Human Sciences. London: Tavistock Publication Ltd.
Foucault, Michel. 1987. "The Order of Discourse", dalam Robert Young, Untying The Text: A Post-Structuralist Reader. London and New York: Routledge and Kegan Paul.
Foulcher, Keit. 1988. "Roda yang Terus Berputar: Beberapa Aspek Perkembangan Sastra Sejak 1965", dalam Prisma, Jakarta, No. 8 Tahun XVII.
Foulcher, Keit. 1991 (1980). Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti Pasaka.
Haridas, Swami Anand. 1986. Sastra Indonesia Terlibat atau Tidak?. Yogya karta: Kanisius.
Haryanto, Ignatius. 1999. Kejahatan Negara Telaah Tentang Penerapan Delik Keamanan Negara. Jakarta: ELSAM.
Hellwig, Tineke. 1994. In The Shadow of Change Images of Women in Indonesia Literature. Certer for Southeast Asia Studies: University of California.
Heryanto, Ariel (ed.). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Press.
Heryanto, Ariel. 1988.  "Masihkah Politik Jadi Panglima", dalam Prisma, Jakarta, No. 8 Tahun XVII.
Jassin, H.B.. 1968. Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.
Jassin, H.B.. 1985/1952. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985a/1954. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II. Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985b/1962. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei III. Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985c/1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei IV. Jakarta Gramedia.
Junus, Umar. 1960. "Istilah dan Masa Waktu 'Sastra Melayu' dan Sastra Indsonesia", dalam Medan Ilmu Pengetahuan Th. 1. No. 3. Djakarta. 3 Djuli 1960. h. 245-250.
Junus, Umar. 1974. Perkembangan Novel-Novel Indonesia. Kuala Lumpur: University Malaya.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta Gramedia.
Kayam, Umar. 1988. "Memahami Roman Indsonesia Modern Sebagai Pencerminan dan Ekspresi Masyarakat dan Budaya Indonesia Suatu Refleksi, dalam Mursal Esten (ed.). Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa.
Mohamad, Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mulder, Neils. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nursinah, S.. 1969. Kesusastraan Indonesia (Cet. III). Jakarta: Tunas Mekar Murni.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1967. "Penggolongan Angkatan dan Angkatan 66 dalam Sastra", dalam Horison No. 6. Th. II, Juni.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Klaten: Dwi Dharma.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1996. "Puisi Yogya Sejak Tahun 1980", dalam Agus Noor dan Hamdy Salad (eds.). Histeria Kritik Sastra. Yogyakarta: Bentang.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Quinn, George. 1995. Novel Berbahasa Jawa. Leiden: KITLV Press.
Rass, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: Graffiti-Pers.
Raziz. http://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/selectedworks/ B- Liar1.html
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakata: Juxtapose.
Rosidi, Ajib. 1964. Kapankan Kesusastraan Indonesia Lahir?. Djakarta: Bharata.
Rosidi, Ajib. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Rosidi, Ajip. 1973. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia. Djakarta: Pustaka Jaya.
Sastrawardoyo, Subagio. 1980. Sosok Pribadi dalam Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sayuti, Suminto A.. 2000. Berkenanal dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Siregar, Bakri. 1964. Sejarah Sastra Indonesia I. Jakarta: Akademi Bahasa dan Sastra "Multatuli".
Soekito, Wiratmo. 1984. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Arus.
Soemargono, Farida. 1983. "Kelompok Pengarang Yogya 1945-1960: Dunia Jawa dalam Kesusastraan Indonesia", dalam Citra Masyarakat Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Sumardjo, Jakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Sumardjo, Jakob. 1981. Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Sumardjo, Jakob. 1982. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Teeuw, A. 1955. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru I. Jakarta: Pembangunan.
Teeuw, A. 1958. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru II. Jakarta: Pembangunan.
Teeuw, A. 1967. Modern Indonesia Literature. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A. 1979. Modern Indonesian Literature Vol. II. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Thompson, John B. 1985. Studies in the Theory of Ideology. Berkeley, Los Angeles: University of California Press.
Toda, Dami N.. 1984. Hamba-Hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan.
Toer, Pramoedya Ananta. 1982. Tempo Doeloe. Jakarta: Hasta Mitra.
Usman, Zuber. 1957. Kesusastraan Baru Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
Watson, C.W.. 1972. The Sociology of the Indonesian Novel 1920-1955. a thesis submitted for the degree of master of arts, University of Hull, unpublished.
Watt, Ian. 1968. The Rise of the Novel. Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin Books Limited.


[1] Makalah untuk Seminar “Memperdebatkan Kritik Sastra” di Fakultas Ilmu Budaya FIB, Universitas Airlangga, Surabaya, 12 November 2008.
[2] Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
[3] Hal tersebut tampak dalam tulisan-tulisan Jassin (1968, 1985/1952, 1985a/1954, 1985b/1962, 1985c/1967), Teeuw (1955, 1958, 1967), Usman (1957), B. Siregar (1964), Junus (1960, 1974, 1981, 1983), Rosidi (1964, 1969, 1973), Nursinah (1969), Sumardjo (1979, 1981, 1983), Toda (1984), Eneste (1982), Watson (1972), Pradopo (1967, 1988, 1995), Damono (1983), Sastrowardoyo (1980, 1989), Toda (1984), Soekito (1984), Haridas (Aveling) (1986), Heryanto (1988), Foulcher (1988, 1991/1980), Mohamad (1993), Hellwig (1994), Faruk (2002/1994), Nurgiyantoro (1995), Darma (1995), Sayuti (2000), dan sebagainya. Berdasarkan perspektif teoretis, tulisan-tulisan di atas dapat dibagi ke dalam tiga kecenderungan. Pertama, walaupun tidak dipaparkan secara eksplisit, yaitu tulisan-tulisan dengan mencampurkan kesan subjektif dan teori struktural seperti tampak pada tulisan Jassin (1968, 1985, 1985a, 1986b, 1985c), Rosidi (1984, 1969), Usman (1957), Eneste (1982), Nursinah (1969), dan B. Siregar (1964). Kedua, tulisan yang secara cukup konsisten berangkat dari kerangka teori struktural seperti tampak pada tulisan Teeuw (awal) (1955, 1958, 1967), Pradopo (1967, 1988, 1995), Nurgiyantoro (1995), Sayuti (2000), dan Junus (1960, 1974). Ketiga, tulisan dengan perspektif dan teori sosiologi (dan politik) seperti tampak pada tulisan Sumardjo (1979, 1981, 1983), Soekito (1984), Junus (1983), Mahamad (1993), Heryanto (1988), Watson (1972), Haridas (Aveling) (1986), Foulcher (1988, 1991)), Hellwig (1994), dan Faruk (1994).

[4]  Pengarang lain yang dicatat Farida Soemargono, dengan kecenderungan lain adalah Nasjah Jamin dan Motinggo Busye. Kedua pengarang tersebut berasal dari Sumatra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar